Intisari-Online.com - Dalam sejarah Timor Leste, nama-nama pahlawan kemerdekaan pria seperti Nicolau Lobato, Xanana Gusmao, hingga Jose Ramos Horta, banyak dikenal.
Tokoh-tokoh tersebut dikenal dengan perjuangannya melawan pasukan Indonesia demi merebut kemerdekaan Timor Leste.
Namun, tidak demikian dengan para pejuang wanita yang jarang dibahas, padahal perjuangan kemerdekaan Timor Leste tak lepas dari peran mereka.
Ternyata, ada peran besar wanita Timor Leste dalam sejarah mereka merebut kemerdekaan dari Indonesia.
Melansir The Diplomat dalam artikel berjudul 'Timor-Leste’s Forgotten Female Rebels' oleh Edward Cavanough (16/5/2018), dalam perlawanan Timor Leste selama berada di bawah pemerintahan Indonesia, kadang-kadang wanita bertarung bersama pria di garis depan tetapi lebih sering mereka secara aktif terlibat dalam klandestino.
Klandestino merupakan jaringan canggih informan yang menyamar yang bertanggung jawab menyelundupkan persediaan, obat-obatan, persenjataan, dan informasi ke garis depan. Enam puluh persen dari klandestino adalah perempuan.
Simona Tilman, seorang perawat yang pekerjaan rahasianya selama perang adalah menggambarkan mosaik peran yang dimainkan perempuan, yang jarang diakui oleh negara, berbicara kepada The Diplomat.
Sosok perawat itu membongkar bagaimana peran perempuan Timor Leste dalam perlawanan kepada pemerintah Indonesia, yang saat itu diperintah Presiden Soeharto.
Katanya, dari kantornya di Palang Merah Internasional di Dili, Tilman akan berkoordinasi dengan sesama klandestino untuk mendistribusikan obat-obatan kepada mereka yang bertempur di pegunungan.
“Kami akan kirim obat ke depan… ke Xanana [Gusmao],” katanya.
“Kami akan mencuri persediaan [dari kantor Palang Merah] dan mendistribusikannya kepada mereka yang bertempur di garis depan," ungkapnya.
Bukan hanya Simona, tapi ada ribuan orang lainnya yang secara aktif terlibat dalam operasi rahasia dan ilegal yang serupa, seringkali tepat di depan hidung pihak berwenang Indonesia di Dili.
Itu adalah pekerjaan yang berbahaya dan penting, tetapi juga merupakan pekerjaan tanpa gelar. Kontribusi itulah yang gagal diakui oleh pemerintah Timor-Leste.
Dr. Lia Kent dari Australian National University telah menghabiskan sebagian besar karirnya mengeksplorasi peran wanita dalam masyarakat Timor pasca perang.
Dia khawatir peran perempuan dalam perlawanan 'kurang diakui'. “Ada sedikit upaya resmi untuk mengingat kontribusi perempuan dalam perjuangan pembebasan,” katanya.
Disebut, pengucilan perempuan dari skema pemerintah dimaksudkan untuk "menghargai" dan memberi penghargaan kepada para veteran atas layanan mereka.
Kent percaya sifat dari skema teersebut sedemikian rupa sehingga mereka melarang wanita untuk benar-benar dapat mengakses manfaat sebagai hasil dari kontribusi pribadi mereka terhadap perlawanan.
“Skema tersebut menghitung jumlah pensiun berdasarkan 'peringkat' seseorang dalam struktur perlawanan formal. Wanita jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan pria untuk memiliki pangkat formal, ”kata Kent.
Sementara banyak wanita Timor Leste hanya menerima "pensiun kelangsungan hidup", yang tergantung pada mereka yang kehilangan pasangan dalam perang, bukan untuk konstribusi mereka sendiri.
Seperti diketahui, perlawanan kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste selama masih berintegrasi dengan Indonesia kemudian menemui hasilnya pada 1999, akhirnya dilaksanakan referendum dan Bumi Lorosae merdeka dari Indonesia.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini