Intisari-online.com - Perselisihan AS dan China memang terus memanas, kedua negara ini sama-sama mengincar pengaruh di Asia Tenggara.
China sendiri telah lama dituduh tukang slonong dan merebut wilayah orang, terbungkti dengan klaim sepihak atas Laut China Selatan yang disengketakan.
Padahal Laut China Selatan berbatasan langsung dengan beberapa negara Asia Tenggara seperti, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei.
Namun China mengklaim bahwa wilayah itu merupakan miliknya, dibuktikan dengan peta yang memuat sembilan garis putus-putus.
Dianggap melanggar batas laut internasional, Amerika tak tinggal diam dan kirimkan pasukkan ke laut yang disengketakan itu.
Sementara itu di saat yang sama, Amerika juga memanfaatkan situasi dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Tenggara.
Akan tetapi baru-baru ini Amerika justru disemprot oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang mengecam kehadiran militer AS di wilayahnya jika dianggap membahayakan.
Bahkan berani ancam akan mengusir Amerika jika dianggap membahayan wilayah Asia Tenggara.
Menurut Associated Press, pada Selasa (2/3/21), dalam konferensi pers Duterte meminta pasukan AS untuk meninggalkan Filipina, jika Washington mencoba membawa senjata nuklir.
Meskipun tidak ada pejabat AS yang baru-baru ini mengumumkan rencana untuk menempatkan senjata nuklir di Filipina.
Duterte pada 28 Februari masih menerima pertanyaan tentang masalah tersebut pada konferensi pers, lalu menjawab pertanyaan itu.
"Kami tidak menginginkan itu. dan saya memperingatkan bahwa, jika saya mengetahui informasi apa pun mengenai senjata nuklir yang ingin dibawa AS ke Filipina," katanya.
"Saya akan meminta tentara AS untuk segera meninggalkan Filipina. Dan menghentikan Perjanjian Pasukan Kunjungan. (VFA)," kata Presiden Filipina itu.
Duterte membuat pernyataan itu saat bertemu wartawan di Pangkalan Udara Villamor di Pasay City.
Tak lama setelah penerimaan 600.000 dosis vaksin Covid-19 Sinovac yang disumbangkan oleh Beijing.
Dia juga memuji tindakan China, karena memberikan vaksin cuma-cuma untuk Filipina.
Hal itu menyenangkan China, tetapi juga karena konstitusi Filipina melarang kehadiran senjata nuklir di negara ini.
Penyebab utamanya karena keberadaan pangkalan angkatan laut dan udara AS di wilayah tersebut.
Tentu saja Filipina akan menjadi "negara pertama yang terkena dampak" jika terjadi konflik militer AS-China.
Menurut Presiden Filipina Rodrigo Duterte menambahkan bahwa Filipina akan mengadopsi kebijakan luar negeri independen untuk menghindari risiko bahaya.
VFA mengatur kehadiran militer AS di Filipina.
Ini mulai berlaku pada tahun 1999 tetapi ditangguhkan oleh Duterte pada tahun 2020.