Dalam satu insiden tahun 2013, sebuah kapal penjaga pantai Tiongkok dilaporkan memaksa kapal patroli Indonesia untuk melepaskan beberapa nelayan Tiongkok yang ditahan karena pukat ilegal.
Situasi kembali memanas pada tahun 2016 ketika selusin kapal penangkap ikan Tiongkok menolak untuk mengindahkan peringatan korvet angkatan laut Indonesia untuk meninggalkan perairan Indonesia.
Meski Jakarta pada akhirnya mengecilkan insiden tersebut, militernya telah mengambil langkah konkret untuk menjaga laut di sekitar Kepulauan Natuna.
Mereka meningkatkan pangkalan udara di Ranai di Pulau Natuna sehingga pesawat tempur garis depan Su-27 dan Su-30 serta helikopter serang AH-64E baru dapat beroperasi lebih dekat ke daerah yang disengketakan.
Itu juga meningkatkan fasilitas pelabuhan di pulau itu sehingga mereka dapat menampung tidak hanya kapal patroli lepas pantai yang lebih kecil, tetapi juga kapal selam dan kombatan permukaan yang lebih besar.
Pada akhir 2018, Indonesia mengaktifkan komando militer gabungan baru di pulau itu dan mendirikan pangkalan operasi kapal selam di sana.
Sayangnya untuk Indonesia, kemungkinan akan bertemu lagi dengan kapal penangkap ikan dan kapal penjaga pantai Tiongkok di zona ekonomi eksklusifnya lagi.
Dengan “irisan salami” yang cukup, Beijing yakin hal itu dapat melemahkan oposisi Indonesia; dan akhirnya Indonesia, seperti Malaysia, akan menyadari bahwa ia memiliki sedikit pilihan selain mengakomodasi kehadiran China.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR