Intisari-Online.com - Konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas di tahun 2020 ini.
Walau tidak ada bentrokan langsung seperti yang terjadi antara India vs China, tapi kedua negara telah 'perang mulut'.
China sedari awal telah memperingatkan AS bahwa mereka akan menurunkan pasukan militernya di Laut China Selatan.
Dan AS membalasnya dengan menyebar pasukan di sekitar perairan itu.
Hasilnya bentrokan mungkin akan terjadi dalam waktu dekat.
Bahkan ketika tahun 2020 akan berakhir, nampaknya pesatnya perkembangan militer China cukup membuat AS gerah.
Revolusi teknologi militer pun kini disebut sebagai kunci penting untuk bisa menyaingi negeri tembok raksasa.
Jenderal Mike Milley, Kepala Staf Gabungan AS, mengatakan, pihaknya perlu sepenuhnya merangkul robotika dan kecerdasan buatan jika ingin mempertahankan keunggulan atas China.
Tidak hanya itu, Milley menyebutkan, pasukan yang berjumlah lebih kecil serta mampu dipersenjatai rudal jarak jauh perlu ditempatkan di lebih luas di seluruh Asia.
"Kita berada di tengah perubahan mendasar dalam karakter perang," ungkap Jenderal Milley, seperti dikutip dariSouth China Morning Post.
Terkait dengan perubahan mendasar tersebut, Milley mengutip penyebaran amunisi berpemandu presisi, drone, peralatan robotik lainnya, serta komunikasi satelit canggih.
Menurut Milley, AS yang menguasai beberapa aspek teknologi tersebut akan menjadi penentu dalam perang.
"Jika Anda menambahkan kecerdasan buatan dan Anda melakukan kerjasama manusia-mesin."
"Tambahkan itu ke perangkat robotika, masukkan amunisi presisi dan kemampuan sensor, kemampuan senjata hipersonik, dan Anda akan memiliki perubahan mendasar," katanya.
Milley menyatakan, senjata robotik akan ada di banyak sektor dalam 10 atau 15 tahun mendatang.
Ia merasa, China akan bisa melakukan perubahan tersebut dengan cepat.
"Mereka tidak ingin menyamai kita, tapi melebihi kita, mendominasi kita, dapat mengalahkan kita dalam konflik bersenjata," tambah Milley yang menyoroti pesatnya perkembangan militer China.
Pandangan Milley ini seolah bertolak belakang dengan misi Presiden AS terpilihJoe Bidenyang mengatakan,AS harus mengurangi jejak militernya di luar negeri.
Sebab, pangkalan permanen di tempat-tempat, seperti Korea Selatan dan Bahrain, membuat pasukan AS, keluarga, dan staf rentan.
Meskipun demikian, kabar beredar bahwa Jenderal Milley akan tetap menduduki jabatannya sebagai Kepala Staf Gabungan di era Biden nanti.
(Prihastomo Wahyu Widodo)
(Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Revolusi teknologi disebut bisa jadi kunci keberhasilan AS untuk kalahkan China")