Advertorial
Intisari-Online.com - Secara mengejutkan,Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Edhy bahkan langsung ditetapkan sebagaitersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha , atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Penangkapan Edhy disebutkan terkait dengan pengelolaan ekspor benih lobster.
Edhy tidak ditangkap sendirian. Total ada 6 tersangka lainnya, termasuk istrinya. Mereka ditetapkan sebagai penerima suap.
Penangkapan Edhy langsung membuat namaSusi Pudjiastuti trending.
Sebab, selama ini Edhy dan Susi kerapmelayangkan sindiran.
Kedua menteri beda periode ini memang kerap saling sindir karena memiliki pandangan yang berbeda tentang kebijakan di sektor kelautan dan perikanan.
Teranyar, pada Kamis (19/11/2020), Edhy kembali melontarkan sindiran kepada Susi secara tidak langsung.
Sindiran biasanya menekankan pada kondisi kelautan dan perikanan lima tahun lalu, yang notabene sedang dipimpin Susi Pudjiastuti.
Edhy terang-terangan tidak sepakat bahwa prosperity harus diutamakan ketimbang sustainability (keberlanjutan).
Begitupun sebaliknya.
Ini dinilai berbanding terbalik dengan Susi yang mengutamakan unsur keberlanjutan, sehingga beberapa kebijakannya memang kontroversial.
Sedangkan, menurut Edhy, dua unsur itu tidak bisa berat sebelah, harus berjalan beriringan.
"Kalau kita lihat lima tahun lalu bagaimana industri kita di sektor ini berhenti hanya karena beberapa kebijakan yang mengadu, dihadapkan antarasustainability (keberlangsungan) dengan prosperity," kata Edhy dalam acara Jakarta Food Security Summit-5 secara virtual.
"Padahal, kalau kita melihat secara bijak, untuk apa kita bicarasustainabilitysaja kalau prosperitytidak kita dapat?' lanjut dia.
Edhy kemudian mengaitkannya dengan kondisi ekosistem tambak udang yang ada di Indonesia saat ini.
Dia mengklaim, masyarakat sudah mampu membudidaya udang hingga menghasilkan 40 ton/satu kali panen.
"Ini masyarakat bukan perusahaan-perusahaan. Kalau perusahaan atau beberapa pelaku usaha sudah ada yang berhasil panen 1 hektar 100 ton di atas 100 ton," ujar Edhy.
Sedangkan di era Susi, mantan menteri nyentrik itu justru memperketat pembukaan lahan tambak udang dengan mengambil lahan mangrove.
"Padahal, untuk menyejahterakan masyarakat, memberi kehidupan mereka layak, tidak perlu sampai berhektar-hektar lahan."
"Sementara kita lihat semua di lapangan, banyak masyarakat yang memiliki tambak lebih dari 2 hektar di luar Jawa."
"Tapi tidak pernah produktivitasnya bisa lebih dari 1 ton," tutur dia.
Berita penyindiran ini akhirnya ditanggapi Susi dengan menyematkan emoticon terkejut dalam akun Twitter pribadinya.
Bukan hanya soal tambak udang, sindiran juga terjadi di beberapa isu, mulai dari ekspor benih lobster, legalisasi cantrang, hingga penenggelaman kapal.
Ekspor benih lobster
Kebijakan ekspor benih lobster disorot ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berwacana membuka keran ekspor benih lobster.
Kritik keras datang bertubi-tubi dari asosiasi, peneliti, hingga masyarakat, mengikuti lahirnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020, yang didalamnya mengatur ekspor benih lobster.
Beleid ini mengganti aturan lama Susi, yakni Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2016 yang melarang benih lobster diekspor maupun dibudidaya.
Kebijakan itu sontak membuat Susi geli bila salah satu alasan diizinkannya ekspor benih lobster karena banyak nelayan yang menggantungkan hidupnya menjadi pencari benih.
Padahal, bila jeli, sumber daya laut bukan hanya benih lobster saja.
Susi menyebutkan, kebijakan ekspor benih lobster merupakan hal yang aneh, karena hanya Indonesia saja yang mengizinkan ekspor benih lobster.
Beberapa negara seperti Australia, Filipina, Kuba, hingga Sri Lanka tidak mengambil benih lobster untuk diekspor.
Bahkan, Australia telah melarang penangkapan lobster dengan jenis kelamin betina agar keberlanjutannya terjaga.
Itulah mengapa dia menganggap lucu bila alasannya karena nelayan tidak punya pekerjaan lain.
"Sekarang diwacanakan, pengambil bibit nanti ambil apa kalau tidak ambil bibit?"
"Ya lucu, ya masa di laut itu isinya cuma bibit lobster?"
"Adanya bibit karena ada emak lobster. Lobster besar inilah yang ditangkap, jangan bibitnya," kata Susi dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020).
Susi justru merasa khawatir bila bibit lobster diambil, nelayan kecil justru tak lagi mendapat uang dari menangkap lobster ukuran konsumsi.
Diketahui, menangkap lobster kerap dilakukan nelayan kecil karena penangkapannya yang mudah.
Tak perlu memakai kapal besar, lobster bisa ditangkap hanya dengan bekal jermal ataupun ban dalam mobil.
Harga lobster ukuran konsumsi biasanya mencapai ratusan ribu tergantung dari jenis dan ukuran.
"Kita pakai akal sehat saja. Kenapa kita mesti menghidupi Vietnam? Lucu buat saya."
"Saya percaya negara wajib melindungi SDA untuk kemaslahatan masyarakat. Indonesia akan jadi negara besar kalau lautnya bisa dikelola dengan baik," pungkas Susi.
Sedangkan menurut Edhy, pelegalan ekspor benih lobster tak lain adalah untuk kesejahteraan nelayan yang selama ini hidupnya bergantung pada benih.
Dia mengaku, tidak mungkin seorang menteri membuat kebijakan yang merugikan nelayannya.
Justru, cara tersebut ditempuh agar nelayan bisa sejahtera.
Bahkan, ke depan, ekspor lobster akan dihentikan bila budidaya dalam negeri sudah mampu menampung hasil tangkapan para nelayan.
"Kalau ditanya berdasarkan apa kami memutuskan? Nilai historis kemanusiaan karena rakyat butuh makan."
"Tapi berdasarkan ilmiah, juga ada."
"Kalau ditanya dulu penelitian seperti apa? Dulu tidak ada," pungkas Edhy beberapa waktu lalu.
(Ardito Ramadhan/Fika Nurul Ulya)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "KPK Tetapkan Menteri Edhy Prabowo sebagai Tersangka" dan "Saling Sindir Edhy Prabowo dan Susi Pudjiastuti, Soal Ekspor Benih Lobster hingga Penenggelaman Kapal")