Advertorial
Intisari-Online.com -Kelestarian hutan dianggap hanya tinggal mimpi setelahUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara resmi ditandatangangi Presiden Joko Widodo.
Hal ini terkait dengan dihapus dan diubahnya beberapapasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Salah satu yang paling disorot adalah pasal 35 UU Cipta Kerja yangmemberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha serta kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan.
Salah satu ketentuan yang dihapus yakni terkait kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Kawasan hutan minimal 30 persen tersebut untuk optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Dalam Pasal 36 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan disebutkan, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan.
Namun, mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional, diatur dalam peraturan pemerintah.
Sebelum UU Cipta Kerja ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, perubahan tersebut mendapat kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI).
Baca Juga: Sudah Disahkan, Nyatanya Naskah UU Cipta Kerja Kembali Berubah di Tangan Istana….
Menurut Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/10/2020), UU Cipta Kerja mengancam keberlangsungan hutan karena menghapus batas minimun kawasan hutan dan daerah aliran sungai (DAS).
“Batas minimum kawasan hutan Jawa, misalnya minimal 30 persen, termasuk juga batas minimum untuk DAS di masing-masing provinsi itu akan hilang,” ujar Wahyu.
Ancaman ke dua yakni dalam konteks kejahatan korporasi.
Wahyu mengatakan, dalam Undang-undang Cipta Kerja, kewajiban atau tanggung jawab terhadap kebakaran hutan dalam undang-undang kehutanan dicabut.
Ia mengatakan, kewajiban tersebut hanya diganti dengan bertanggung jawab terhadap pencegahan. Hal itu, menurut Wahyu, menjadi ancaman tersendiri terhadap hutan tropis.
Menurut dia, perusak-perusak hutan yang awalnya bisa dipidana atau bisa diperdata, kini hanya akan diproses secara administrasi.
“Perubahan proses tata hukum yang diatur oleh UU Cipta Kerja itu akhirnya justru bukan hanya mengancam hutan tropis, lebih jauh dari itu, mengancam masyarakat yang hidup dari hutan tersebut,” ujar Wahyu.
Dikutip dari Reuters, sebanyak 35 investor global dengan total aset yang dikelola mencapai 4,1 triliun dollar Amerika Serikat, memperingatkan Indonesia adanya UU Cipta Kerja dapat mengancam hutan tropis yang keberadaannya sudah makin menyusut.
Di antara investor tersebut adalah Aviva Investor, Legal & General Investment Management, Chruc of England Pensions Board, Robevo, dan Sumitomo Mitsui Trust Assets Management.
“Meskipun kami menyadari perlunya reformasi hukum bisnis di Indonesia, kami memiliki kekhawatiran tentang dampak negatif dari langkah-langkah perlindungan lingkungan yang dipengaruhi oleh Omnibus Law UU Cipta Kerja,” kata Peter van der Werf, dari Robeco dikutip dari Reuters (5/10/2020).
Reuters juga menyebutkan, dengan koalisi Presiden Joko Widodo menguasai 74 persen kursi, parlemen mengesahkan RUU yang menurut pemerintah diperlukan untuk memperbaiki iklim investasi dan merampingkan peraturan di ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu.
Namun, sebuah koalisi yang terdiri dari 15 kelompok aktivis, termasuk serikat buruh, menolak RUU tersebut dan menyerukan pemogokan.
Baca Juga: Benarkah dalam Omnibus Law Karyawan Dilarang Cuti dan Harus Bekerja Lebih Lama?
Selain itu, Omnibus Law UU Cipta Kerja ini dikhawatirkan dapat menghambat upaya perlindungan terhadap hutan Indonesia.
Dampak jangka panjangnya, dunia akan semakin kesulitan menghambat terjadinya kepunahan aneka ragam hayati dan memperlambat perubahan iklim yang kini menjadi masalah bersama penduduk Bumi.
Meski UU disahkan untuk meningkatkan investasi asing di Indonesia, UU ini dianggap memiliki risiko bertentangan dengan standar praktik internasional yang bertujuan mencegah bahaya yang tidak diinginkan dari kegiatan bisnis.
Berdasar kekhawatiran yang ada terkait kerusakan lingkungan itu, beberapa manajer aset mulai bersikap mendesak pemerintah di negara-negara berkembang untuk melindungi kelestarian alamnya, termasuk salah satunya pada Brasil.
Dalam intervensi serupa di bulan Juli kemarin, 29 investor yang mengelola 4,6 triliun dollar AS menyampaikan kepada kedutaan besar Brasil untuk bertemu dan menyampaikan pada pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro untuk menghentikan peningkatan pembukaan lahan di hutan hujan Amazon.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "UU Cipta Kerja Hapus Ketentuan soal 30 Persen Kawasan Hutan yang Harus Dipertahankan" dan"Catatan Walhi, UU Cipta Kerja Mengancam Keberlangsungan Hutan karena 2 Hal Ini".