Dia menghabiskan 8 bulan di panti asuhan setelah perkelahian, di mana dia ditangkap karena penyerangan menggunakan senyawa kimia pengencer cat.
Pada tahun-tahun berikutnya, ketika masalah hutang dalam keluarganya meningkat, dia mulai tidur dengan sejumlah yakuza, banyak yang menodai wajahnya dengan tinjuan, dan, sebelum usia 20 tahun, bekerja sebagai pengelola klub malam.
Setelah pemukulan dan pemerkosaan yang sangat kejam oleh mantan pacar, sebelum pernikahannya dengan seorang gangster, dia berada dalam kondisi yang tidak memiliki uang.
Kemudian membuatnya pindah ke Tokyo untuk memulai bekerja di salon pachinko.
Setelah itu, kabar kematian ibunya membuat dia berada pada depresi berat dan dia akhirnya mencoba bunuh diri dengan menelan segenggam pil tidur.
“Saya menulis buku itu (Full Moon Baby) dengan menghadapi masa lalu saya,” katanya.
“Proses penulisan buku itu membuat saya mengingat hari-hari itu. Itu bukanlah sesuatu yang mudah dihadapi. Saya tidak punya masalah menulis tentang diri saya sendiri, tetapi yang paling sulit adalah menulis tentang keluarga saya,” ujarnya.
Memberdayakan dirinya sendiri
Tato dari leher hingga kakinya, simbol terkenal dunia kriminal Jepang, telah terakumulasi selama bertahun-tahun sebagai cara untuk mengakui sejarahnya dan memberdayakan dirinya untuk menghadapinya.
Ayah Tendo meninggal karena kanker perut, ketika wanita ini berusia 29 tahun.
Tidak seperti reaksi seperti saat ibunya meninggal, saat ayahnya meninggal dia terinspirasi untuk mengubah hidupnya.
Dia bercerai dengan suaminya yang seorang gangster, yang telah memotong kelingkingnya karena tidak mematuhi perintah bosnya untuk tidak membalas pukulannya.
Dia juga bekerja lagi sebagai pengelola klub malam, kali ini di distrik Kabukicho, Tokyo.
Dia mengabdikan dirinya untuk pekerjaannya.
Ketika berusia 30 tahun, dia membuka rekening tabungan pertamanya.
Kemudian, transformasinya selesai saat dia mengerjakan hari terakhirnya di klub malam itu.
Malam itu, diselingi oleh kemunculan bulan purnama, yang menurut Tendo mulai naik turun dengan sempurna mewakili pasang surut hidupnya.
Terlepas dari kehidupan awal yang penuh gejolak itu, dia tidak memandang negatif hubungannya dengan dunia yakuza.
“Saya telah menerima dari mana saya berasal tanpa keraguan. Saya tidak pernah mempertanyakannya,” katanya.
Badan Kepolisian Nasional Jepang memperkirakan bahwa ada sekitar 80.000 gangster di Jepang yang berurusan dengan segala hal mulai dari pelacuran, narkoba hingga penipuan.
Namun, tendo mengatakan bahwa buku "Yakuza Moon" diterima dengan baik. "Di buku atau film, ada pahlawan. Di buku saya, tidak ada yakuza yang bagus.
Setelah dirilis, saya mendapat surat dari grup yakuza yang mengatakan bahwa itu menggambarkan kehidupan mereka secara akurat dan bahwa mereka senang karenanya," katanya.
Sugamo
Tendo sering mengunjungi pemakaman di Sugamo, Tokyo untuk memberikan penghormatan kepada keluarganya.
Dia mengucapkan terima kasih kepada orang tuanya karena telah menjaganya dan berdoa untuk kemakmuran putrinya, serta berdoa untuk pekerjaannya sebagai penulis, yang tumbuh dalam sebuah gengster.
Sebelum meninggal, ayah Tendo menulis dalam sepucuk surat, "Shoko, tolong terus percaya pada dirimu sendiri."
Mempertahankan kepercayaan yang dihadapinya, bagaimanapun, tampak merupakan pertarungan yang berkelanjutan yang terkadang disampaikan Tendo melalui blog Web-nya.
Dalam wawancara untuk artikel yang dilansir dari Tokyo Reporter, dia menyebutkan bahwa sudah umum bagi para penulis untuk ingin menggali masa lalu dirinya sendiri, yang mana untuknya adalah memunculkan kenangan akan pergumulan emosional dan keuangannya ketika dia pertama kali tiba di Tokyo.
“Ini adalah sesuatu yang mengganggu saya untuk waktu yang lama,” tulisnya.
“Tapi, hari ini saya menyadari bahwa ini adalah bagian dari diri saya yang membuat saya kuat. Karena masa-masa sulit itulah saya menjadi diri saya hari ini," pungkasnya.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Perjalanan Perempuan Yakuza Bertato menjadi Penulis dan Ibu Tunggal"
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR