Advertorial
Intisari-online.com - Indonesia adalah negara yang sangat potensial di Asia Tenggara, memiliki penduduk besar, dan luas wilayah besar.
Hal ini membuat Indonesia disebut sebagai pasar terbaik di Asia Tenggara karena jumlah penduduknya yang besar.
Selain itu, negara ini juga amat dekat dengan Laut China Selatan yang kini disengketakan oleh China.
Membuat negara ini cukup strategis andaikan bekerja sama dengan China, baik dari segi ekonomi dan pertahanan negara.
Bahkan, menurut sebuah situs IDN Financials, mengatakan Indonesia ternyata sudah masuk dalam daftar China.
Hal itu disampaikan oleh Amerika Serikat di mana Indonesia dianggap oleh Tiongkok sebagai fasilitas logistik militer terakhir mereka.
Pernyatan itu diungkapkan dalam laporan tahunan Departemen Pertahanan AS, Pentagon yang dirilis pada awal September 2020.
Selain itu secara total disebutkan ada 12 negara lain yang juga sudah dibidik oleh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China.
Menurut laporan itu, PLA mengincar 12 negara ini sebagai fasilitas logistik militernya.
Negara tersebut di antaranya, Angola, Indonesia, Kenya, Myanmar, Pakistan, Seychelles, Singapura, Sri Lanka, Tajikistan, Tanzania, Thailand, dan Uni Emirat Arab.
Tetapi untuk saat ini PLA hanya memiliki basis dukungan di Djibouti.
"PKC (Partai Komunis China) telah menugaskan PLA untuk mengembangkan kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan di luar perbatasan China dan pinggiran langsung," kata laporan itu.
"Tujuannya untuk mengamankan kepentingan luar negeri RRT yang berkembang dan memajukan tujuan kebijakan luar negerinya," ungkap laporan itu.
Laporan tersebut, yang diserahkan ke Kongres AS, menyoroti rencana China tersebut.
China menggunakan PLA sebagai alat untuk memajukan kebijakan luar negerinya dan memperkuat kemampuan negara.
Agenda utamanya, untuk melawan intervensi musuh di kawasan Indo-Pasifik dan memproyeksikan kekuatan secara global.
Di antara keprihatinan yang disoroti dalam laporan itu adalah kemungkinan kontingensi Taiwan.
Pasalnya, di mana PLA mengembangkan kemampuannya untuk menanggapi intervensi pihak ketiga alias negara yang ikut campur dengan kepentingan luar negerinya.
Di luar masalah Taiwan, China juga dikatakan tetap fokus di Laut China Selatan.
Terutama setelah pengadilan pada tahun 2016 memutuskan bahwa klaim apa pun atas "hak bersejarah".
Dijelaskan, China di wilayah tersebut tidak boleh melebihi hak maritimnya sebagaimana diatur dalam UU No. Konvensi Laut.
"Karena kepentingan luar negeri RRT telah tumbuh selama dua dekade terakhir, para pemimpin Partai semakin mendorong PLA," katanya.
"Memikirkan tentang bagaimana ia akan beroperasi di luar perbatasan China dan pinggiran terdekatnya untuk memajukan dan mempertahankan kepentingan ini," kata laporan itu.