Advertorial
Intisari-Online.com - Sejak zaman pemerintahan Soekarno, Indonesia terus menerus dirayu Israel agar mau membuka hubungan diplomatik dengan negara zionis tersebut.
Namun jawaban Bung karno tegas; selama Israel menjajah Palestina, Indonesia tidak akan pernah membuka jalinan persabatan bilateral dengan Israel.
Atas anjuran dari Dewan Liga Arab pada 18 November 1946, selain negara-negara muslim, Israel memberi pengakuan kedaulatan Indonesia.
Hal itu agar Indonesia memperlakukan Israel dengan sama.
Pada 1949, Perdana Menteri David Ben Gurion juga mengirim telegram kepada Presiden Soekarno yang berisi ucapan selamat karena Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia.
Bahkan pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett mengirim telegram ke Hatta.
Masih sama, tujuannya yakni untuk memberi pengakuan penuh kepada Indonesia.
Dalam “Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting” yang dimuat Jewish Political Studies Review, Maret 2005, Hatta menanggapi perbuatan Israel dengan ucapan terimakasih.
Namun, dia tidak menawarkan timbal balik untuk memberi pengakuan diplomatik.
Saat Israel berencana mengirim misi muhibah pada Indonesia, Hatta juga menolaknya secara halus.
Bahkan pada konferensi negara-negara Asia dan Afrika, Indonesia bersama Pakistan menolak partisipasi Israel.
Sikap ini bukan tanpa alasan, Soekarno mengatakan dalam pidatonya tahun 1962:
Baca Juga: Mengenal Asal-usul Ashkenazi, Etnis Yahudi yang Punya Nenek Moyang Paling Awal dari Suku Asli Israel
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel."
Titik Hangat Hubungan Indonesia-Israel
Polemik mengenai hubungan Israel-Indonesia pernah mencapai titik hangatnya di masa pemerintahan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab disapa Gus Dur.
MelansirKompas.comdari arsipHarian Kompasyang terbit 26 Oktober 1999, wacana ini muncul ketika Alwi Shihab mengungkapkan kemungkinan dibukanya hubungan dagang Indonesia dengan Israel.
Saat itu, Alwi Shihab akan menjabat sebagai menteri luar negeri.
Baca Juga: Mengenal Asal-usul Ashkenazi, Etnis Yahudi yang Punya Nenek Moyang Paling Awal dari Suku Asli Israel
Pernyataan Alwi ini sekaligus tindak lanjut pidato Gus Dur dalam seminar 'Indonesia Next' di Denpasar, Bali, sehari sebelumnya.
Ketika itu, Gus Dur mengatakan bahwa Indonesia dapat melakukan kerja samaekonomi dengan Israel tanpa membuka hubungan diplomatik.
Menurut Gus Dur, hubungan diplomatik Indonesia-Israel memang belum diperlukan.
Naun, hubungan dagang Indonesia-Israel tidak begitu saja dibuka.
Indonesia, menurut Alwi, meminta syarat yang mempertimbangkan kepentingan rakyat Palestina.
"Dengan syarat kita dilibatkan dalam proses perdamaian di Timur Tengah. Maksudnya, kita sebagai negara muslim terbesar di dunia, ikut didengar," ujar Alwi Shihab di Wisma Negara (25/10/1999).
Sebelum pernyataan Alwi, Gus Dur melakukan pertemuan dengan 16 Duta Besar negara-negara Arab, termasuk Dubes Palestina saat itu, Ribhi Y Awad.
Menurut Awad, Gus Dur mengatakan bahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum bangsa Palestina mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya.
Adapun definisi kemerdekaan yang dimaksud adalah berdirinya negara Palestina dengan ibu kota Jerussalem.
Selain itu, lanjut Awad, Indonesia juga tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum dikembalikannya seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel, termasuk Dataran Tinggi Golan dan dipulangkannya atau dibebaskannya semua tawanan Palestina oleh Israel.
"Kami dari negara-negara Arab sangat gembira dan berterima kasih atas penegasan Pemerintah RI ini, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya," kata Awad.
Sedangkan, Deputi Menteri Luar Negeri Israel saat itu, Nawaf Musalahah, menyatakan bahwa Israel optimis hubungan dengan Indonesia meningkat di era pemerintahan Gus Dur.
"Saya optimis upaya Israel menjalin hubungan dengan Indonesia kali ini tidak mengalami hambatan, mengingat Presiden Abdurrahman Wahid tidak asing lagi bagi Israel. Ia kini tercatat sebagai anggota Institut Perdamaian Shimon Peres," kata Musalahah, dilansir Harian Kompas yang terbit 1 November 1999 dari harian Al Hayat.
Polemik terus berkembang kemudian.
Mengenai rencana kerjasama dagang tersebut, Yenny Wahid juga mengungkapkan alasan kenapa ayahnya mau menjalin kerjasama dengan Israel.
MelansirTribun Lampung(10/3/2013), Yenny menyatakan,Israel adalah salah satu negara yang menguasai ekonomi dunia.
Namun, penguasaan ekonomi Israel, papar Yenny, dilakukan secara terselubung.
Menurutnya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang dikuasai oleh Israel tapi memakai bendera negara lain.
"Karena mereka (Israel) terselubung, maka tidak kena penarikan pajak," ucap Yenny. Gus Dur, kata dia, sangat paham tentang itu.
Untuk menarik pajak dari para pengusaha Yahudi, papar Yenny, Gus Dur berniat menjalin kerjasama dagang.
"Supaya mereka (Israel) keluar maka kita harus menariknya permukaan. Dengan adanya kerjasama, maka para pengusaha Israel tidak lagi memakai tangan lain," jelas Yenny.
"Tapi sayang karena kebijakan itu banyak yang menuduh ayah saya sebagai antek Yahudi. Banyak yang tidak tahu maksud dari kerjasama itu," tambahnya.
Menurut Yenny, Gus Dur bukanlah antek Yahudi atau Israel.
Ia mengatakan, Gus Dur mendukung kedaulatan penuh terhadap Palestina.
"Ayah saya sejak tahun 1980-an sudah membela Palestina. Bahkan ayah saya yang membiayai Dubes Palestina di Indonesia," terangnya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari