Advertorial
Intisari-online.com - Belakangan negara Timor Leste memang kerap mendapat sorotan, dari beberapa media tanah air.
Maklum saja, negara itu memang pernah memiliki hubungan sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Tetapi kini wilayah itu melepaskan diri dari Indonesia, dan memilih merdeka sebagai negara yang mandiri.
Meski secara resmi telah 18 tahun merdeka, Timor Leste tak kunjung kaya, dan bahkan justru kondisi ekonominya semakin terbelit.
Menurut Forbes, diperkirakan negara itu akan bangkrut tahun 2027, akibat pengeringan ladang minyak yang terjadi pada 2022.
Selain itu, beberapa bulan lalu terungkap juga bagaimana bobroknya pemerintahan di Timor Leste.
Menurut Asia Pasific Report, sebuah pemangdangan mengejutkan tertangkap kamera terjadi pada bulan Mei 2020.
Anggota parlemen di Timor Leste justru terlibat baku hantam ketika sedang melaksanakan rapat.
Kekacauan itu bahkan disiarkan di media sosial dan dilaporkan oleh Konsultan Media Bob Howart, yang melaporkan bahwa polisi juga dipanggil ke parlemen ketika kekacauan meningkat.
Koresponden kantor berita Lusa Antonio Sampaiomemberikan komentar dalam bahasa Portugis, kata Howarth.
"Semua kekacauan, menurut komentar itu, datang dari mantan perdana menteri dan anggota partai CNRT," katanya.
"Rapat itu kacau, meja teratas dihancurkan, diduga oleh seorang anggota parlemen CNRT.Yang lainnya ditahan setelah mengayunkan kursi. "
Dengan teriakan "ilegal" dan "penyerangan terhadap kekuasaan", para deputi (anggota parlemen) menggedor meja panjang di salah satu bidang meja yang biasanya didudukioleh pemerintah dalam debat parlemen.
Di ujung lain meja, Wakil Presiden Angelina Sarmento, dari PLP, berulang kali mencoba dengan mikrofon untuk memulai rapat paripurna secara resmi.
Baca Juga: Tak Tahan Lagi Disiksa Majikannya yang Kejam, TKI Sulis Nekat Turuni Balkon 15 Lantai
Tetapi setiap setiap dia berbicara, di sisi lain anggota oposisi mulai menggedor meja, diiringi tepuk tangan dan hentakan riuh lainnya di sisi meja paripurna.
Tanpa mendengar orasi Angelina Sarmento, mayoritas bangku Fretilin, PLP dan KHUNTO malah mengacungkan kartu suara hijau.
Pemungutan suara "simbolis" mendukung pemecatan Presiden Parlemen Nasional, Aaron Noah Amaral, tetapi tanpa validitas di bawah proses parlementer.
Selama dua hari berturut-turut, Parlemen Timor mengalami saat-saat ketegangan, yang memburuk hari itu dengan anggota CNRT pada bulan Mei.
Polisi sampai dipanggil untuk mengawal jalannya rapat dan menjaga keamanan.
Ketegangan berawal ketika wakil presiden parlemen mencoba menduduki area meja untuk membuka rapat paripurna, mengingat dia memiliki legitimasi untuk melakukannya karena Presiden Amaral belum hadir.
Beberapa anggota berkumpul di area meja parlemen, dengan anggota CNRT berpaling ke meja Amaral untuk mencegah dimulainya sidang paripurna.
Dalam skenario teriakan dan dorong, dengan deputi dari berbagai pihak naik ke area meja, Petugas Polisi Nasional (PNTL) Timor Leste sampai mengambil alih.
Sebuah permintaan telah ditandatangani oleh mayoritas anggota yang ingin memberikan suara untuk pencopotan Amaral yang seharusnya, menurut Tata Tertib, telah diperdebatkan dalam pleno selang waktu lima hari.
Batas waktu ini telah lewat, namun sidang belum dijadwalkan karena penolakan Presiden Amaral untuk menggelar pleno.
Pada hari berikutnya, tiga partai koalisi yang berkuasa menuduh Amaral "menyalahgunakan kekuasaan, menentang negara dan subversi" karena melumpuhkan prosedur parlementer.
Mayoritas telah meminta Wakil Presiden Angelina Sarmento untuk memimpin sidang paripurna.