Advertorial
Intisari-Online.com - Saat ini, berbagai negara tengah berkonflik.
Ada China vs India di perbatasan, ada Iran vs Amerika Serikat (AS), hingga Turki vs Yunani di Eropa sana.
Pertanyaanya, manakah konlik yang paling mematikan?
Ternyata Indonesia masuk dalam konflik paling mematikan yang ada.
Bagaimana kisah selengkapnya?
Ini tulisanNiyati Vermayang diambil dari website resmi The Organization for World Peace, theowp.org, pada 6 September 2020, dengan judul asliWest Papua – Deadliest Conflict In Oceania.
Papua Barat tengahmenghadapi genosida diam-diam karena pelanggaran hak asasi manusia.
Sejak mencoba memutuskan untuk memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1963 silam,perjuangan pembebasan dan penentuan nasib mereka sendiri dilakukan oleh masyarakat adat.
Tapi hasilnya telah mengakibatkan kekerasan dan pemberontakan.
Salah satunya konflik antaraIndonesia danOrganisasi Papua Merdeka (OPM) selama hampir 58 tahun.
Menurut laporan Amnesty International, setidaknya 100.000 orang Papua Barat telah dilaporkan dibunuh oleh pihak berwenang Indonesia sejak pengambilalihan pada tahun 1960-an.
Meskipun konflik yang sedang berlangsung di Papua Barat, perjuangan untuk kemerdekaan sebagian besar masih belum terdokumentasi dan tidak dilaporkan.
Karena pihak berwenang Indonesia telah menekan informasi yang bocor secara internasional tentang konflik tersebut.
Baru-baru ini, selama pemberontakan pada akhir 2018, pemerintah Indonesia membatasi akses orang asing ke beberapa wilayah di Papua Barat dan memutus akses internet di wilayah tersebut.
Namun, pada tahun 2019 surat kabar Australia, The Guardian dan University of Newcastle memulai proyek untuk memetakan kekejaman dan kekerasan masa lalu di Papua Barat sejak tahun 1970-an.
Oleh karena itu, terjadi pergeseran pengungkapan realitas konflik yang juga dipicu oleh pembaharuan aktivisme kemerdekaan oleh gerakan Papua Merdeka.
Meski demikian, semua upaya gerakan pro-kemerdekaan telah ditumpas oleh penguasa Indonesia.
Menurut Yan Christian Warinussey, pengacara senior Papua Barat dan pembela hak-hak sipil, tanggapan pemerintah adalah memandang kelompok nasionalis sebagai kelompok separatis dan menolak untuk melakukan dialog apa pun dengan mereka.'
Demikian pula pada tahun 2017, petisi kemerdekaan yang ditandatangani oleh 1,8 juta orang Papua Barat diselundupkan ke luar wilayah dan diserahkan ke Komite De-kolonisasi PBB.
Namun ini ditolak dengan alasan hukum.
Dengan demikian, meningkatnya ketegangan yang berasal dari penentuan nasib sendiri dan pelanggaran hak-hak sipil antara pihak berwenang Indonesia dan gerakan kemerdekaan Papua Barat telah memuncak menjadi pertempuran sengit.
Yang paling signifikan, proyek jalan raya yang kontroversial pada bulan Desember 2018.
Proyek ini memicu ketegangan karena banyak orang Papua Barat khawatir jalan tersebut akan memungkinkan eksploitasi sumber daya lebih lanjut.
Sehingga nantinya akan berdampak negatif terhadap bisnis lokal.
Misalnya sebuah aksi kekerasanoleh orang Papua Barat yang menewaskan 16 pekerja Indonesia.
Lalu pihak berwenang Indonesia menanggapi konflik tersebut dengan mengirim militer dan polisi ke wilayah tersebut untuk menemukan penyerang.
Hasilnya, ratusan orang Papua Barat tewas, dan pihak berwenang setempat melaporkan bahwa 45.000 orang Papua telah mengungsi.
Pemerintah Indonesiasendiri membantah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Tapi ada banyak video dan foto yangmenggambarkan aksi kekerasan itu.
Apalagiketika ketegangan berkobar antara demonstran dan pasukan keamanan.
Terakhir, pemerintah Indonesia dilaporkan bisa melakukanpenyelidikan tentang kematian ratusan ribu orang pada tahun 1965.
Dengan harapan sikap ini bisamembuka wacana rekonsiliasi antara Indonesia dan masyarakat adat Papua Barat.