Namun hal ini tidak menghentikan China untuk berusaha menjerat Indonesia dalam visinya sendiri untuk Laut China Selatan.
China telah mengajukan beberapa proposal pembangunan bersama di Laut China Selatan sejak 2017, terutama ditujukan ke Filipina dan Vietnam.
Tapi Indonesia juga jadi unggulan.
China mengusulkan pembentukan Spratly Resource Management Authority (SRMA), dengan keanggotaan tidak hanya dari negara penuntut yang bersengketa, yaitu Brunei, China, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, tetapi juga Indonesia.
Huaigao Qi dari Universitas Fudan berpendapat dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun lalu di Journal of Contemporary East Asian Studies bahwa tujuan China adalah memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan wilayah yang damai dan stabil.
Serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi China- Persaingan AS di wilayah yang disengketakan.
Namun dengan mengajukan Indonesia bergabung dengan SRMA, tampaknya Beijing belum mendengar pesan dari Jakarta.
Penerbitan serangkaian catatan diplomatik antara kedua negara baru-baru ini membuat jelas Indonesia waspada terhadap niat China, dan memang demikian.
Indonesia tidak boleh melibatkan proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan.
Posisi Indonesia jelas bahwa ia bukan penggugat atas fitur apa pun di Laut China Selatan, sehingga tidak ada batasan maritim yang tertunda dengan China.
Meskipun demikian, China secara sepihak bersikeras bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas pantai Pulau Natuna tumpang tindih dengan klaim China yang disebut "sembilan garis putus-putus".
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR