Advertorial
Intisari-online.com - Uni Emirat Arab, telah membuka pembicaraan dengan negeri Zionis, Israel pada pekan lalu.
Hubungan itu menandai babak normalisasi hubungan antara negara arab dengan Israel.
Meski demikian, di tengah normalisasi hubungan itu, nyatanya konflik Israel dan Palestina belum mereda, tentu saja hal ini terasa begitu menyakitkan bagi Palestina.
Tindakan itupun langsung dipuji oleh Presiden Donald Trump, yang menyebutnya sebagai terobosan utama Timur Tengah.
Perjanjian itu menandakan puncak dari lebih satu dekade hubungan diam-diam yang berakar pada hiruk-pikuk terhadap Iran.
Kesepakatan itu meninggalkan apa yang telah menjadi landasan kebijakan AS di kawasan itu, resolusi konflik Israel-Palestina.
Bahkan secara diam-diam banyak negara Arab yang menjalin hubungan normalisasi dengan Israel.
Melansir Associated Press Rabu (19/8/20),bermula pada pertemuan Februari 2019, yang awalnya sebagai pertemuan Anti-Iran, yang kemudian berubah menjadi upaya keamanan Timur Tengah.
Pada pertemuan itu banyak negara kuat yang tidak mengirim perwakilannya, seperti Rusia, China, dan negara terdekat seperti Palestina.
Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Nethanyahu hadir, bersama dengan menteri luar negeri negara-negara Arab utama.
Pada KTT tersebut, diplomat Arab Saudi, UEA, dan Bahrain berbicara tentang keamanan di Timur Tengah dan ancaman yang ditimbulkan oleh Iran terhadao kemanan mereka.
Menggunakan Proxy Syiah di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Mereka menekankan bahwa menghadapi Iran telah menjadi prioritas utama negeri Arab saat ini, sebelum menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Rekeman itu juga bocor, dan keasliannya juga dikonfirmasi oleh pejabat AS yang menghadiri pertemuan tersebut.
Senada dengan pernyataan pejabat dari negeri Arab, Perdana Menteri Israel Nethanyahu, juga menggemakan kekhawatiran serupa.
"Iran sangat tinggi dalam agenda di Warsawa karena kebijakan luar negeri Iran adalah pendorong ketidakstabilan di Timur Tengah saat ini," kata utusan khusus AS untuk Iran.
Empat bulan pasca pertemuan itu, Israel dan Uni Emirat Arab melakukan pertemuan rahasia, berlangsung 17 Juni 2019 di Washington.
Mereka membicarakan, kemanan regional, dunia maya, maritim, serta fokus koordinasi diplomatik dan mengganggu pendanaan teror, menurut pejabat AS.
Lebih lanjut pertemuan itu berpuncak pada Kamis (20/8), pemerintah Israel dan UEA, telah menyepakati hubungan diplomatik dan bertukar kedutaan.
Kabar baiknya, dari kesepakatan itu, Israel berjanji akan menghentikan rencana kontroversialnya untuk mencaplok sebagian besar wilayah tepi barat Palestina.
Yang pasti, baik UEA maupun Israek tidak akan pernah saling berperang, UEA yang terdiri dari tujuh emirat yang dijalankan penguasa turun temurun dimpipin Abu Dhabi, akan menjadi negara arab ketiga setelah Mesir dan Yordanina yang menjalin hubungan dengan Israel.
Negara Arab lain seperti Maroko, Bahrain, Oman, dan Sudan berpotensi untuk mengikutinya.
Namun, Palestina mengatakan bahwa mereka tidak diberitahu tentang kesepakatan itu, UEA dianggap mengabaikan konsensus Arab lama, bahwa pengakuan Israel hanya akan dilakukan setelah konsesi Israel, dalam pembicaraan damai dan pembentukan negara Palestina.
Bagi UEA, membangun hubungan dengan Israel, membawa sejumlah keuntungan termasuk untuk melawan Iran.