Advertorial
Intisari-Online.com - Ingatan Alis mengenai keluarganya di Timor Leste sudah memudar.
Alis diambil oleh seorang tentara Indonesia saat masih berusia delapan tahun.
Lalu, suatu hari datanglah seseorang mencari dirinya.
"Hati saya hancur karena telah meninggalkan ibuku di gereja," ujar Alis.
"Saya merasa bersalah sebab bila saya tak meninggalkannya, mungkin saya akan berada di sisinya saat beliau meninggal dunia."
"Mungkin saja saya beruntung dan menjalani kehidupan yang lebih baik.
Namun ibu dan ayah, yang telah kehilangan anaknya, tentu saja sangat menderita."
Di bawah bayang-bayang gedung Gereja Katolik berdinding cerah di Ainaro, Timor-Leste, Kalistru beranjak menuju jalan desa.
Dia masih kanak-kanak berusia delapan tahun.
Tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa dia tidak akan pernah lagi melihat ibunya sejak itu.
Ini kejadian di tahun 1977, ketika Timor-Leste masih dalam situasi perang.
Dua tahun sebelumnya, tentara Indonesia masuk dan menduduki wilayah bekas jajahan yang ditinggalkan Portugis.
Baca Juga: Hadapi Corona 14 Cara Genius Agar Makanan Sehat Tetap Segar Lebih Lama
Terlalu muda untuk ikut dalam perjuangan seperti saudara-saudaranya, Kalistru selalu berada di sisi ibunya di tengah situasi kacau ketika itu.
"Selama beberapa dekade, kami pikir dia sudah mati," kata Laurencia, saudara perempuannya yang tertua.
"Kami tidak marah padanya."
"Ketika perang, suara peluru berdesing seperti suara jagung yang meledak di atas kompor.
Baca Juga: Hadapi Corona 14 Cara Genius Agar Makanan Sehat Tetap Segar Lebih Lama
Ada juga pesawat yang menembak dari udara."
"Semua orang lari, tidak memikirkan orang tua atau keluarga mereka.
Kami naik ke Gunung Kablake dan bersembunyi di sana."
"Hari ini dia kembali.
Dia sudah tua, seperti kami ini."
Keluarga Alis mengadakan upacara tradisional untuk menyambutnya.
Alis dihadapkan dengan hal yang bisa menyakitkannya.
Setelah berdamai dengan yang hidup, sekarang Alis harus berdamai dengan yang sudah meninggal.
Ia dibawa ke kuburan orang tuanya di lereng bukit di pinggiran desa.
Kembang kuburan menari-nari diterpa angin sore yang kering.
Ibu Alis, Clara, meninggal tiga tahun lalu.
Ayahnya Francisco, meninggal bertahun-tahun sebelumnya.
"Inilah anakmu, akhirnya kembali ke Timor-Leste," kata Alis sambil membungkuk di batu nisan orang tuanya.
"Ayahku sayang.
Ibuku sayang.
Ketika kalian meninggal, saya tidak ada di sampingmu.
Aku anakmu, Kalistru Momode, memohon ampunanmu."
Bagi Nina, sudah lebih dari satu dekade sejak dia akhirnya bisa pulang ke Timor-Leste dan bersatu kembali dengan ibunya sendiri.
Dia tahu butuh proses bagi Alis untuk benar-benar bisa pulang.
Dia harus kembali ke sana berkali-kali untuk menjalani penyembuhan.
"Seseorang seperti Alis, dia tinggal bersama keluarga yang mencintainya.
Semua saudara lelaki dan perempuan angkatnya, menyayanginya," katanya.
"Tapi meskipun mereka mencintainya, ada saat-saat di mana Alis menyadari dirinya orang asing.
Dia bukan putra dari orang yang mengambilnya."
Terakhir kali Alis melihat ibunya berada di dalam gereja di Ainaro saat berusia delapan tahun.
Bangunan megah berwarna putih itu hampir tidak berubah sejak Alis naik ke jip tentara.
Di bawah bayangan gereja, menapaki tangga ke pintu yang melengkung, pikiran Alis kembali ke tahun 1977 dan bagaimana orang tuanya mengalami penderitaan. (*)
Artikel ini pernah tayang di Jateng.tribunnews.com dengan judul "Kisah Kalistru Momode, Anak Timor Leste yang Diambil Tentara Indonesia pada Masa Perang"