Advertorial
Intisari-Online.com - Setiap suku itu unik. Mereka punya ciri khasnya masing-masing.
Termasuk suku Boti.
Suku Boti adalah mereka yang tinggaldi daerah Kecamatan Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Seperti apa kisah suku Boti?
Inilah pengalamanwartawanIntisariLR. Supriyapto Yahya yang pernah bertandang ke sana.
Dengan ramah, Nune Ambenu (80), sang kepala adat merangkap kepala suku, serta beberapa orang lainnya, menyambutkedatanganmereka.
Kata orang, suku Boti masih hidup primitif.
Namun, setelah masuk ke rumah si kepala adat ini, pikiran itu segera hilang.
Barang-barang modern cukup banyak memenuhi ruang tamu rumah: sofa, televisi, jam dinding.
Di sini semangat hidup bergotong royong masih sangat tebal. Serta penampilan orang Boti sederhana.
Mereka nampaknya juga tidak pernah menggunakan alas kaki, sehingga telapak kaki mereka sangat tebal.
Padahal, daerah tempat tinggal mereka masih berupa tanah kering dan berbatu karang.
Kaum lelakinya, terutama generasi tua, umumnya tidak mencukur rambutnya.
Rambut mereka yang panjang itu digelung menjadi konde, persis Brama Kumbara dalam filmSaur Sepuh.
"Dipanggang" di atas bara
Dalam hal pengobatan pun orang Boti masih menggunakan obat tradisional, yang diambil dari tanam-tanaman yang mereka usahakan sendiri.
Itu bukan berarti mereka tidak mengenal cara pengobatan yang lebih modern.
"Di sini pun puskesmas sudah ada."
"Kami akan membawa si sakit ke puskesmas, jika ia sudah tidak bisa sembuh diobati dengan obat tradisional," kata salah seorang anak buah Nune.
Kalau ada seorang ibu hendak bersalin, biasanya seorang dukun beranak akan membantunya.
Selesai melahirkan, si wanita dimandikan dengan air hangat dan kemudian dibaringkan di balai-balai.
Sementara itu di bawahnya diletakkan bara api untuk "memanggang".
Maksudnya, agar tenaga serta kekuatan wanita itu pulih kembali.
Hal itu berlangsung selama empat puluh hari. Setelah itu si wanita dianggap sudah sehat kembali.
Setelah si bayi berumur empat puluh hari ia akan dipakaikan kalung, diberi uang dsb.
Ini merupakan simbol demi masa depan si anak.
Meskipun hidup jauh dari kota, tidak berarti orang Boti tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
"Seorang putra kami juga sempat kuliah di Kupang, namun tidak selesai dan sekarang berwiraswasta," jelas istri Nune yang berusia 78 tahun.
Terhadap kemajuan zaman, orang Boti juga tidak menutup diri.
Mereka akan menerima segala hal, asal tidak merusak tata cara kehidupan dan budaya mereka sendiri.
Ini membuat orang tidak segan datang mengunjungi mereka.
Buktinya, sejak 1989, sekitar 60 - 70% dari 247 tamu yang tercatat dalam buku tulis yang dijadikan buku tamu mereka adalah orang asing dari berbagai negara, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Australia.
Para pengunjung ini memiliki berbagai macam profesi, ada mahasiswa, wisatawan, peneliti dsb.
Orang Boti, yang sering dikatakan masih primitif, ternyata sangat hangat dalam menerima tamu.
Ketika saya meminta mereka untuk difoto, dengan senang hati mereka segera mengatur diri.
Waktu saya berpamitan, dengan kehangatan seorang ayah, Nune Ambenu membimbing lengan saya menuju jip.
Seakan-akan ia tidak ingin melepaskan saya, sampai saya masuk ke kendaraan yang akan membawa saya pergi dari kenangan yang menyenangkan itu.
Lambaian tangan mereka terasa sangat tulus, sampai kami hilang di belokan batu cadas, sementara musik terus bertalu mengiringi keberangkatan kami.
(Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Juli 1992)