Advertorial
Intisari-online.com -Konflik Laut China Selatan belum tunjukkan tanda akan berakhir dalam beberapa bulan ini.
Hal tersebut semakin membawa perhatian internasional ke wilayah sengketa ini.
Konflik antara China dan negara-negara yang mengklaim wilayah mereka di Laut China Selatan semakin meningkat.
Negara yang berseteru dengan China berpendapat China telah melanggar kesepakatan Nine Dash Line dan Zona Ekonomi Eksklusif masing-masing negara.
Rupanya, dengan tingginya konflik di perairan tersebut, tekanan tertinggi dihadapi oleh militer Indonesia dan Malaysia.
Kedua angkatan laut negara ini menjadi kekuatan utama di kawasan Laut China Selatan.
Mengutip Kontan, Senin (8/6), kapal-kapal China dan Malaysia terperangkap dalam konflik besar selama lebih dari satu bulan sejak awal tahun 2020 di dekat Pulau Kalimantan di Laut China Selatan.
Konflik itu terjadi saat kapal Malaysia, Capella Barat, tengah mencari sumber daya di perairan yang juga diklaim Beijing.
Saat itu, sebuah kapal survei Tiongkok, disertai dengan kapal penjaga pantai, berlayar ke daerah tersebut dan mulai melakukan pemindaian, menurut gambar satelit yang dianalisis oleh Institut Transparansi Maritim Asia (AMTI).
Hal itu kemudian direspons Malaysia dengan mengerahkan kapal ke daerah itu, yang didukung kapal perang Amerika Serikat yang melakukan latihan bersama di Laut China Selatan.
Beijing mengklaim tengah melakukan kegiatan normal di perairan di bawah yurisdiksi Tiongkok.
Kendati selama berbulan-bulan kapal-kapal China dituding memburu kapal-kapal negara lain yang mencoba mengeksplorasi sumber daya di perairan yang diklaim China miliknya.
Sekarang para ahli mengatakan, China mengadopsi taktik yang semakin kuat dan berisiko memicu konflik baru dengan kekuatan regional utama seperti Malaysia dan Indonesia.
Direktur AMTI, Greg Polling mengatakan, negara-negara itu lebh penting daripada sebelumnya karena kapal-kapal China memperluas jangkauan mereka di kawasan itu, sebagian besar karena keberadaan pulau-pulau buatan Beijing di Laut China Selatan.
"Pulau-pulau buatan itu menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, secara efektif telah mengubah Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara yang berada di garis depannya," ujar Polling.
"Pada hari tertentu, di sana sekitar selusin kapal penjaga pantai berdengung di sekitar Kepulauan Spratly, dan sekitar seratus kapal nelayan, siap berangkat," terangnya.
Laut China Selatan adalah daerah yang paling diperebutkan di dunia, dengan tumpang tindih klaim dari China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Indonesia.
Klaim teritorial Beijing, yang dikenal dengan sembilan garis putus-putus, karena tanda yang tercetak pada peta China di wilayah tersebut, sejauh ini merupakan yang terbesar dan mencakup hampir keseluruhan Laut China Selatan, dari Pulau Hainan hingga ke puncaknya di Indonesia.
Kendati klaim China tidak memiliki dasar di bawah hukum internasional dan dinyatakan tidak sah dalam putusan pengadilan internasional 2016.
Meski demikian, sejak 2015, China mulai meningkatkan ambisi teritorialnya dengan membangun pulau-pulau buatan di atas terumbu dan beting di Laut China Selatan dan kemudian memiliterisasi daerah itu dengan fasilitas pelabuhan, dan landasan pesawat tempur.
"Pulau-pulau ini penuh dengan radar dan kemampuan pengawasan, mereka melihat semua yang terjadi di Laut China Selatan," kata Polling. "Di masa lalu, China tidak tahu di mana kamu mengebor. Sekarang mereka pasti tahu," imbuhnya.
Para ahli mengatakan Beijing telah menciptakan armada penjaga pantai dan kapal penangkap ikan Tiongkok yang dapat dikerahkan di Laut China.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Tekanan terhadap Indonesia dan Malaysia meningkat di Laut China Selatan"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini