Advertorial
Intisari-online.com - Saat ini pandemi Covid-19 telah meluas ke seluruh dunia, selain krisis kesehatan aspek ekonomi dunia juga terpukul akibat pandemi ini.
Dampak krisis hebat yang melanda seluruh dunia, membuat negara 'pemberi utang' sekelas China juga dalam kesulitan yang sama.
Dalam sebuah kasus kecil misalnya Pakistan menelpon mitra-mitranya di Beijing dan membuat permintaan mendesak, untuk merekonstruksi miliaran dollar dan bentuk pinjaman dari China.
Permintaan serupa bahkan dibuat berturut-turut ke Beijing oleh Kirgistan, Sri Lanka dan banyak negara Afrika lainnya.
Semuanya adalah debitor besar, dalam jumlah puluhan miliar dollar dari China.
Mengutip 24h.co.vn, usulan semacam itu membuat China dalam kondisi yang sulit.
Dalam upayanya untuk menjadi kreditor terbesar di negara-negara berkembang, selama dua dekade terakhir China meningkatkan pinjaman global.
Mengalirkan ratusan miliar dollar ke negara-negara miskin untuk memperluas pengaruhnya.
Banyak negara meminjam uang ke China, sementara mereka harus menggadaikan pelabuhan penting, tambang, atau aset berharga lainnya.
Menurut Amerika kebijakan Beijing menghamburkan uang untuk memberi pinjaman ini, disebut sebagai "diplomasi perangkap utang."
Amerika juga memperingatkan, negara-negara kecil untuk berhati-hati dalam meminjam uang dari China.
Namun, dalam konteks pandemi berlangsung dan berdampak langsung pada ekonomi dunia, China menghadapai risiko kehilangan pinjamannnya.
Karena negara debitur, mengatakan mereka tidak bisa membayar utang ke China.
Jika China setuju untuk merekonstruksi atau menghapus utang, ini akan memberikan tekanan besar pada keuangan negara.
Karena,pada saat yang sama semua orang di dunia dalam kondisi sulit akibat mewabahnya Covid-19.
Namun, jika China memutuskan untuk memulihkan utang dan tetap memberikan tagihan pada negara-negara yang terpukul, akan membuat negara pengutang membenci China.
Padahan tujuan China memberikan utang, adalah untuk memberikan pengaruh citra sebagai pemimpin dunia dan dalam masa pendemi ini sangat berpengaruh besar.
"Dalam hal ini Tiongkok dirugikan, jika tekad untuk mengambil tagihan, dan negara tersebut tidak bisa membayar, China akan mengambil aset strategis di negara yang tidak mampu," jelas Andrew Small, anggota senior dana Marshall Jerman.
Hal itu akan mempengaruhi reputasi Tiongkok di mata dunia, mempertanyakan tanggung jawab China sebagai negara penyebab bencana global ini.
Sementara itu, China diketahui telah membelanjakan 2 miliar dollar (Rp29 triliun) untuk mencegah epidemi.
Sedangkan, China telah meminjamkan setidaknya 350 miliar dollar AS (Rp5.148 triliun) ke banyak negara, sekitar setengah jumlah dari negara peminjam ekonominya sangat terpukul.
"Mengurangi utang, mungkin paling efektif yang bisa dilakukan China, masih ada untung alih-alih menghapus utang," kata Tong Vi, pejabat departemen penelitian Kementerian Perdagangan Tiongkok.
Beberapa orang China mulai mempertanyakan, apakah uang yang mereka hasilkan akan terbuang sia-sia di luar negeri.
Tiongkok dikenal mengenakan suku bunga tinggi, dan jatuh tempo yang pendek ketika memberikan pinjaman, namun China mudah memberikan pinjaman asal diberi jaminan aset nasional penting.
Beberapa negara berutang pada Chia adalah Djibouti 80% produk domestik bruto, 20% di Ethiopia, 40 % di Kysrgyztan.
Menurut para ahli, tekanan pada pemulihan utang China, hanya akan meningkatkan dampak ekonomi di tengah pandemi ini.
Semakin banyak negara meminta penghapusan utang oleh China terutama negara Afrika.
Ethiopia memiliki ekonomi yang tumbuh cepat di Afrika, negara itu mengusulkan penghapusan sebagian utangnya ke China.
Negara itu juga menjadi wakil dari banyak negara Afrika yang berutang uang ke China, berupaya menegosiasikan proposal tersebut.
"Masih terlalu dini mengatakan, tapi saya pikir China akan memahami kesulitan yang sedang kami hadapi," kata Eyop Tekalign Tolina, Menteri Keuangan Ethiopia.