Advertorial

Kisah Relawan Terumbu Karang yang 2 Bulan Terjebak di Pulau Terpencil Akibat Lockdown, Bertahan Hidup Berdampingan dengan Hewan-hewan Liar dan Sering Kelaparan

Khaerunisa

Editor

Intisari-Online.com - Beberapa kisah orang-orang terdampar atau terjebak di suatu tempat mewarnai pandemi covid-19.

Kali ini kisahnya berasal dari seorang wanita Inggris bernama Natalie Poole dan rekan-rekannya sesama relawan terumbu karang yang terjebak di sebuah pulau terpencil di Myanmar.

Melansir Mirror.co.uk (15/5/2020), Natalie Poole tiba di pulau terpencil Kyun Pila di Myanmar pada 19 Maret dan berencana menghabiskan sebulan untuk bekerja sebagai sukarelawan untuk membantu melindungi terumbu karang.

Namun, apa yang selanjutnya terjadi di luar perkiraan mereka, karena virus coronavirus kemudian mengubah segalanya.

Baca Juga: Inilah Kisah Juana Maria, Seorang Wanita yang Terdampar Selama 18 Tahun di Pulau Tak Berpenghuni, Begini Nasib Malangnya Usai Ditemukan

Wanita berusia 35 tahun yang berasal dari Ashburton di Devon, Inggris ini sekarang terjebak dalam 'drama kehidupan nyata' setelah satu-satunya perahu di pulau terpencil itu dibatalkan.

Pembatalan operasi kapal berkaitan dengan lockdown yang diterapkan baik di Myanmar maupun negara terdekatnya, Thailand.

Selama dua bulan terakhir, Natalie dan empat sukarelawan lainnya dipaksa untuk bertahan hidup hampir tanpa bantuan di salah satu lokasi paling terpencil di dunia.

Mereka harus hidup berdampingan dengan hewan-hewan liar di pulau itu, bagaimana mereka bertahan hidup?

Baca Juga: Miliki Lingkungan Galaksi Seperti Tata Surya, Astronom Kembali Temukan Exoplanet Layak Huni di Luar Bumi

Sebenarnya Natalie dan rekan-rekannya hampir bisa keluar dari sana pada 5 Mei lalu, namun harapan itu hancur seketika saat Thailand memperpanjang lockdown.

Perahu yang harusnya membawa mereka pun dibatalkan.

Natalie yang merupakan instruktur penyelam scuba ini pun berharap bahwa perahu lain akan tiba untuk menjemput mereka akhir bulan ini.

Seharusnya kini ia tengah bekerja sebagai guru sekolah musim panas.

Baca Juga: Bagi Pasien yang Sembuh dari Covid-19, Ahli Peringatkan Agar Tidak Berhubungan Intim selama 30 Hari, Termasuk Berciuman

Selain itu, visanya pun telah kadaluarsa dan pembaruan tidak bisa dilakukan saat pandemi Covid-19.

Bertahan hidup di pulau terpencil mungkin berat, namun menurutnya hal paling sulit adalah tidak ada kepastian kapan dia bisa keluar dari sana.

"Hal tersulit bagi saya adalah tidak tahu berapa lama kita akan berada di sini.

"Ini seperti naik turun, kami adalah sekelompok kecil orang dan kami hidup dalam situasi yang sangat terbatas," ungkapnya.

Baca Juga: Dari Jauh Tampak Seperti Area Reruntuhan yang Dipenuhi Rumput, Namun Dibaliknya Ada Sesuatu yang Luar Biasa, Pantas Harganya Rp3,5 Miliar!

Selain itu, mereka pun memikirkan bagaimana keluarga dan rumah yang mereka tinggalkan.

"Di belakang pikiran kita jelas keluarga di rumah dan barang-barang, yang menambah sedikit ketegangan. Kami hanya mencoba untuk mengambil hal-hal dari hari ke hari," katanya.

Meski dipenuhi pikiran tentang kapan mereka bisa keluar dari pulau terpencil dan kembali ke rumah mereka, namun Natalie dan rekan-rekannya kini harus melakukan apa yang mereka bisa untuk bertahan hidup.

Diantaranya untuk mereka berteduh dnatidur, juga untuk makan.

Baca Juga: Belajar Menginstal Windows 10 Harus Bayar Rp260 Ribu, Warganet: Kursus 'Ngeklik' Tombol 'Next'? Gue Ajarin Gratis!

Untuk berteduh dan tidur, mereka menggunakan potongan-potongan plastik yang sudah dicuci untuk membuat kamp mereka.

Di pulau itu mereka berbagi dengan kalajengking, ular, kancil, babi hutan, biawak, dan kukang, dan harus mencari makan untuk sebagian besar makanan mereka, termasuk ubi, nangka, dan tumbuh-tumbuhan lainnya.

Ada pengiriman sporadis dengan perahu makanan pokok, termasuk nasi dan pasta. yang mereka dapatkan, tetapi mereka sadar bahwa hal seperti itu tidak bisa terus mereka harapkan.

Mereka tidak bisa boleh berharap kepada kiriman karena mereka tidak tahu kapan kiriman berikutnya munfkin akan tiba.

Baca Juga: Digambarkan Sebagai Kondisi yang Brutal, Hasil Otopsi Ungkap Faktor Utama Penyebab Meninggalnya Kobe Bryant dalam Kecelakaan Helikopter.

Dari hari-hari yang mereka jalani, dikatakan bahwa banyak hari di mana mereka kelaparan.

"Kita harus sangat menyadari berapa banyak yang kita konsumsi, kita makan makanan yang sangat mendasar dan benar-benar harus membuatnya bertahan lama," kata Natalie.

Terlepas dari situasi putus asa, kelompok itu, yang terdiri dari dua wanita dan tiga pria dari Inggris, Hongaria, Kanada, Malaysia, dan Prancis, menemukan bahwa mereka tidak sepenuhnya sendirian.

Kelompok itu, yang merupakan sukarelawan dengan kelompok lingkungan Ocean Quest Global, harus beradaptasi dengan cepat untuk menghabiskan begitu banyak waktu ekstra di pulau itu.

Baca Juga: Bayinya Mudah Menangis dan Sering Merengek, Ibu Ini Kaget Pas Tahu Bayinya Idap Penyakti Mematikan Ini, 'Aku Langsung Pingsan Ketika Mendengarnya'

Kamp hutan mereka dibangun dari plastik yang dicuci, dengan setiap orang tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari bambu, karung beras dan botol.

Mereka bahkan telah berhasil membangun furnitur dalam kehidupan Robinson Crusoe yang baru yang diilhami, menggali sumur, lubang api, dan tempat untuk mencuci.

Para relawan juga sudah mulai menanam sayuran sendiri.

Natalie menceritakan bahwa ada tantangan lain untuk kelompok kecil, yang ada dalam keadaan ekstrem seperti itu, selain bertahan hidup memenuhi kebutuhan pokok, yaitu tentang hubungan diantara satu sama lain dalam kelompok itu.

Baca Juga: Berhasil Kabur dari Korea Utara, Pria Ini Beberkan Adanya 'Penyakit Hantu' yang Membunuh Para Penduduk Secara Misterius

"Biasanya dalam program seperti ini ada pergantian sukarelawan yang teratur, yang menjaga hal-hal tetap segar dan menarik, tetapi tiga sukarelawan lainnya telah saling bersamanya sejak lama sekarang dan hubungan kadang-kadang tegang," cerita Natalie.

"Hidup bersama selalu merupakan tantangan karena Anda mendapatkan ruang pribadi yang sangat sedikit dan harus banyak berkompromi. Sikap negatif seseorang atau suasana hati yang buruk akan memengaruhi semua orang," jelasnya.

Kelompok ini telah dipaksa untuk beradaptasi dengan perubahan keadaan mereka, dengan orang-orang belajar meretas jalan hutan, mengendarai sepeda yang kotor dan membangun dengan bambu.

Baca Juga: Maju Mundur Penanganan Covid-19 di Negara Ini, Sampai Gonta-ganti Menkes Dalam 2 Bulan Karena 'Tidak Cocok' Dengan Presiden, Miris!

Natalie sendiri mendapat julukan Sampah Tupai karena menghabiskan hari-harinya menyisir pantai untuk mencuci sampah yang kemudian dapat digunakan untuk membangun struktur yang mereka sebut rumah dan untuk diubah menjadi alat yang berguna untuk bertahan hidup.

Tetapi ketika musim semi perlahan berubah menjadi musim panas Natalie dan rekan-rekan relawannya menghadapi tantangan baru, musim hujan tropis.

Awan sudah datang lebih cepat dan beberapa tetes hujan mulai turun.

Mereka bekerja untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk memastikan mereka siap ketika hujan datang.

Baca Juga: Jadi Beringas saat Kelaparan, Beberapa Orang di Korea Utara Tega Memakan Dua Anaknya hingga Gali Kuburan Cucunya untuk Dimakan

Telah mengerahkan segala upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan pulau terpencil tempat mereka terjebak, Natalie yang sangat menyayangi ayahnya yang ditinggalkannya di Inggris masih berharap sebuah kapal penyelamat akan datang sebelum musim hujan benar-benar dimulai.

Di sisi lain, Natalie mengakui bahwa saat-saat seperti menurutnya berguna untuk mengenal dirinya lebih baik lagi.

"Di saat-saat sunyi dan saat-saat sulit kelelahan fisik dan mental, saya masih kehilangan kendali dan berhenti menjadi sadar dan tenang.

Baca Juga: Mengharu Biru Termasuk Saat Tandatangani Eksekusi Mati Sahabatnya Sendiri, Ini 4 Momen Pilu Saat Bung Karno Meneteskan Air Mata

"Tidak peduli seberapa ramah dan ceria saya biasanya, ketika dikurung di pulau yang relatif kecil dengan orang asing, saya menjadi murung, pemarah dan sedikit termotivasi," ungkapnya.

Namun, ada satu bonus terdampar di pulau itu selama pandemi coronavirus, yaitu satwa liar, pohon, dan tanaman tumbuh subur.

Tim relawan pun dapat melanjutkan pekerjaan mereka melestarikan karang.

"Kami pada dasarnya dikarantina di sini, tetapi tanpa biaya dan tujuan positif. Masuk akal untuk tetap tinggal," katanya.

Baca Juga: Sering Makan Gorengan Takut Kena Radang Usus Buntu? Cek Apakah Gejala-gejala Usus Buntu Ini Terjadi pada Anda!

Artikel Terkait