Advertorial
Intisari-online.com - Singapura masih mencatat penambahan ratusan infeksi baru Covid-19 per hari.
Padahal mereka telah lakukan lockdown total selama penuh 5 minggu.
Tercatat dari South China Morning Post, pekerja migran dengan upah minimum dan hidup di kamar yang sempit-sempitan adalah penderita Covid-19 terbanyak di negara tersebut.
Namun, banyak pekerja ini tidak tunjukkan gejala sakit Covid-19, atau hanya tunjukkan gejala sedikit saja.
Oleh sebab itu, pemerintah Singapura memberikan monitor oksigen di darah kepada para pekerja migrannya.
Monitor oksifen atau oksimeter denyut nadi sudah dibagikan secara gratis untuk mendeteksi peringatan awal tanda sakit virus Corona dan penurunan kondisi medis para pekerja migran.
8000 oksimeter denyut nadi telah diberikan kepada pekerja migran yang positif Covid-19 dan 12000 lagi akan diberikan kepada mereka yang hidup di asrama.
Namun apakah alat tersebut benar-benar efektif untuk tunjukkan gejala sakit Covid-19?
Lalu, bagaimana cara kerja alat tersebut?
Oksimeter denyut nadi adalah alat yang mengukur berapa banyak oksigen yang ada di darah seseorang.
Pengukuran yang dilakukan tidak timbulkan rasa sakit sama sekali.
Oksimeter terdiri dari sensor cahaya yang ditempelkan di jari pasien, kemudian sensor tersebut akan menentukan tingkat kejenuhan oksigen dalam hitungan detik.
Caranya adalah dengan mengukur perubahan panjang gelombang cahaya saat melewati tubuh pasien.
Biasanya alat itu digunakan untuk memonitor paisen dengan asma, pneumonia, kanker paru-paru dan sakit organ pernapasan lainnya.
Oksimeter diciptakan pada awal tahun 1970 oleh teknisi Jepang Takuo Aoyagi, yang meninggal pada April tahun ini di umur 84 tahun.
Bersama Michio Kishi, mereka membuat alat tersebut kemudian dijual oleh perusahaan teknologi medis Amerika Biox pada tahun 1980.
Baca Juga: Manfaat Timun Jepang: 10 Khasiat Kesehatan Makan Timun di Malam Hari
Saat ini, alat ini sudah digunakan di sistem kesehatan seluruh dunia.
Orang sehat biasanya memiliki tingkat kejenuhan oksigen sekitar 95 sampai 100 persen.
Jika kadar oksigen di darah di bawah 90 persen berarti tunjukkan darurat klinis, menurut WHO.
Lalu bagaimana alat tersebut mendeteksi Covid-19?
Rupanya, beberapa pasien Covid-19 telah kembangkan kondisi oksigen dalam tubuh yang sangat rendah sebelum mereka alami napas pendek.
Kondisi tersebut disebut 'silent hypoxia'.
Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak alami gejala parah seperti pneumonia atau tingkat oksigen sangat rendah sampai mereka tidak sadar.
Namun oksimeter denyut ini dapat mendeteksi penurunan kadar oksigen dan menangkap penyakit ini di tahap awal sebelum mengembang menjadi pneumonia dan sindrom penyakit pernapasan akut lain yang pasti memerlukan ventilator.
Pihak medis New York mengatakan 80 persen pasien Covid-19 yang mendapat ventilator justru meninggal dunia.
Sementara yang berhasil selamat dapat hidup dengan kerusakan fisik dan psikologis jangka panjang.
Oleh sebab itu sangat penting pencegahan di tahap awal.
Meski begitu oksimeter denyut tidak sempurna.
Terkadang alat tersebut dapat berikan pembacaan yang salah, dan ciptakan pengukuran yang salah bagi klinik dan pasien.
Hal tersebut akan mendorong petugas medis dan pasien hanya bertumpu pada angka level oksigen saja, bukan pengukuran pasien keseluruhan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr Pieter Cohen, profesor medis di Harvard.
Mengapa pekerja migran yang menjadi prioritas utama
Menteri Tenaga Kerja Singapura Josephine Teo mengatakan jika pekerja migran kebanyakan mengidap Covid-19 tetapi tidak memiliki gejala, atau hanya memiliki gejala sangat ringan.
Sehingga mereka tidak tahu jika menderita Covid-19 sampai sangat terlambat.
"Hasilnya, walau mereka telah terinfeksi, atau masih membawa virus itu dan menularkan ke orang lain, mereka tidak tahu," ujarnya saat umumkan kebijakan pembagian oksimeter denyut nadi tersebut.
Ia juga menambahkan alat itu membantu kementerian lakukan pencegahan kesehatan dengan cara komprehensif.
Tingkat infeksi di beberapa asrama pekerja migran Singapura sangat tinggi sehingga pihak berwenang segera hentikan menguji mereka yang memiliki gejala penyakit pernapasan, dan memilih mengisolasi dan merawat pasien di asrama mereka dahulu sebelum kemudian mengetes mereka.
Menurut spesialis penyakit menular Leong Hoe Nam alat tersebut adalah solusi bagi kedua pihak karena memberikan oksimeter denyut nadi lebih murah daripada harus turunkan staf medis yang memeriksa pasien satu persatu.
Alat itu juga digunakan di Italia, dengan sebuah rumah sakit mengirim pasien dalam pengawasan pulang dengan alat tersebut setelah mereka alami demam dan sakit otot tetapi tidak ada masalah pernapasan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini