Advertorial

Angka Kematian Pasien Corona di Jepang Tergolong Rendah, Ini Penyebabnya, Bisakah Ditiru di Indonesia?

May N

Penulis

sebagai negara paling maju di Asia, Jepang memiliki langkah hebat dalam penanganan pandemi corona hingga angka kematiannya masih rendah
sebagai negara paling maju di Asia, Jepang memiliki langkah hebat dalam penanganan pandemi corona hingga angka kematiannya masih rendah

Intisari-online.com -Sebelum Indonesia, Jepang sudah lebih dulu mengonfirmasi kasus pertama Covid-19.

Kendati demikian, jumlah kasus dan kematian akibat pandemi Covid-19 terbilang rendah.

Menurut data worldmeters, hingga malam ini Jepang telah mengonfirmasi 10.296 kasus Covid-19 dengan 222 kematian.

Setidaknya tercatat ada 2 kematian per 1 juta penduduk.

Baca Juga: Sering Jadi Pertanyaan, Mengapa Angka Kematian Pasien Virus Corona di Indonesia Tergolong Tinggi? Pakar ini Jelaskan Penyebabnya

Lantas apa yang dilakukan oleh negeri matahari terbit dalam dalam menangani wabah Covid-19?

Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Budianto, MA, mengatakan bahwa Jepang tidak menerapkan lockdown atau karantina wilayah seperti beberapa negara lain.

Hingga pada akhirnya pada awal April lalu Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terapkan Darurat Nasional yang batasi pergerakan warga kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka.

Tiga pilar yang diterapkan Jepang

Baca Juga: Sebut Bali Miliki Imunitas Misterius Hadapi Virus Corona, Media Asing Heran Gara-gara Angka Kasus Positif dan Kematian Akibat Covid-19 di Pulau Dewata Rendah

Disebutkan Firman, setidaknya ada tiga pilar utama yang diberlakukan Jepang dalam melawan pandemi ini.

1. Deteksi dini kelompok rentan

Jepang tidak menerapkan pengujian atau tes sampel secara masif atau masal kepada warga negaranya.

Jepang justru memilah atau mendeteksi dini kelompok rentan terpapar Covid-19.

Baca Juga: Angka Positif Covid-19 di Indonesia Disebut Rendah Dibanding Negara Maju, Benarkah karena Vaksin BCG? Ini Penjelasan Ahli

Deteksi dini yang dilakukan adalah pada kelompok rentan, yang sudah pernah kontak erat dengan pasien dan terlebih punya penyakit penyerta.

Deteksi dini kelompok rentan juga dilakukan berkesinambungan dengan transparansi pemerintah terhadap data di mana pasien berasal.

Sehingga masyarakat lainnya bisa melakukan waspada diri.

Selain itu, pengelompokan ini juga diberlakukan pada pasien positif Covid-19.

Baca Juga: 5 Bagian Tergeli Wanita yang Sebaiknya Pria Ketahui

Bagi mereka yang memiliki gejala tingkat keparahan tinggi atau termasuk kategori kritis, dan memiliki penyakit komorbid, maka pasien akan dirawat di rumah sakit.

"Fasilitas kesehatan hanya untuk kondisi kritis. Jadi tidak semua pasien dirawat," kata Firman dalam diskusi daring bertajuk Strategi Pemerintah Jepang dan Korea Selatan dalam Menghadapi Covid-19: Pembelajaran untuk Indonesia, Kamis (16/4/2020).

Sementara, pasien yang memiliki gejala ringan akan dirawat di hotel atau wisma khusus yang dipersiapkan oleh pemerintah, dan ada pula yang bahkan dirawat di rumah masing-masing.

"Ini mencegah kematian tinggi, karena yang sakit parah menjadi prioritas, jadi yang kritis itu bisa terobati,"tutur dia.

Baca Juga: Viral Cerita Pilu di Tengah Pendemi, Seorang Guru di Sumenep Jawa Timur Rela Datangi Satu-satu Rumah Siswanya karena Tak Semua Punya Fasilitas Belajar Online

2. Social conformity

Jepang tidak memberlakukan social distancing ataupun pshysical distancing, tetapi lebih menekankan kepada social conformity.

Social conformity adalah permintaan dari pemerintah untuk menghindari keramaian, kontak dekat secara fisik dengan orang lain, dan menghindari tempat tertutup.

"Tapi memang orang Jepang itu jarang kontak fisik dekat, apalagi salaman dan cium pipi kanan-cium pipi kiri (cipika cipiki).

Baca Juga: Bagai Memanfaatkan Kesempatan dalam Kesempitan, Geng Mafia dan Kartel Narkoba 'Menjadi Malaikat' Bantu Masyarakat Miskin, Tapi Rupanya Tujuannya Sangat Licik

"Jadi memang sudah budaya mereka, jadi pemimpinnya meminta lebih untuk hindari keramaian dan juga tempat tertutup," kata Firman.

Pemerintah Jepang memang tidak membuat aturan atau larangan secara tertulis dan saklek kepada masyarakatnya, tetapi hanya imbauan.

Meski pemerintah "hanya" mengimbau, pada dasarnya masyarakat Jepang memiliki kebiasaan untuk selalu menerapkan imbauan pemerintah.

Mereka disiplin dan tidak melanggar imbauan tersebut.

Baca Juga: Persaingan Erick Thohir VS Mafia Alkes Masih Berlanjut, Arya Sinulingga: 'Ada Pihak yang Memaksa Indonesia Agar Terus Mengimpor Alat Kesehatan'

3. Kebijakan pemimpin daerah

Sejak wabah Covid-19 ditetapkan sebagai kasus darurat di Jepang, pemerintah daerahnya memiliki kewenangan dan hak penuh untuk memiliki kebijakan lain yang dapat membantu penanganan Covid-19.

"Ada penguatan kapasitas lokal pemerintah di sana (Jepang).

"Ada iconic leadership baru. Itu tidak masalah," kata Firman.

Baca Juga: Tak Tunjukkan Gejala, Ibu Ini Baru Tahu Dia Positif Virus Corona dan Juga Menginfeksi 17 dari 18 Anaknya

Untuk diketahui, hanya ada tujuh wilayah yang ditetapkan Jepang sebagai wilayah yang berstatus darurat.

Namun pemimpin dari wilayah lain, diperkenankan untuk menetapkan kebijakan yang terbaik di wilayahnya sesuai kondisi wilayah masing-masing, bahkan setara dengan kebijakan status darurat sekalipun.

"Menurut saya, suara yang didengarkan itu adalah pemerintah lokal daripada suara pemerintah pusat.

"Gubernurnya lebih dipercaya dan didengar oleh warga daerahnya masing-masing," jelas dia.

Baca Juga: Sering Dinyanyikan, Tapi Tahukah Anda Manfaat Lagu Nina Bobo? Ternyata Lagu Ini Punya Manfaat Menakjubkan untuk Bayi Loh!

(Ellyvon Pranita)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Alasan yang Membuat Angka Kematian Akibat Corona di Jepang Rendah"

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini

Artikel Terkait