Advertorial

Manfaat Tersembunyi Tenis Meja, Bisa Dijadikan Terapi Reflek dan Konsentrasi

K. Tatik Wardayati
,
Yoyok Prima Maulana

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Kelihatannya biasa, tapi tenis meja ternyata olahraga istimewa. Bisa sebagai terapi tambahan, bisa pula membantu memperbaiki kinerja kita dalam kehidupan sehari-hari.

Yang pasti, tenis meja merupakan cabang olahraga yang cukup efektif dalam menghasilkan keringat. Dr. Sadoso Sumosardjuno. Sp.KO. menjelaskannya dalam tulisan berikut.

Dibandingkan dengan yang lainnya, tenis meja memiliki beberapa keunggulan. Cabang olahraga ini mempunyai peran sangat penting dalam bidang rehabilitasi.

la merupakan terapi rekreasi yang tak ternilai harganya untuk penyandang cacat fisik seperti polio, paraplegia, hemiplegia, ampute (bagian badannya ada yang diamputasi), radang sendi, dan lain-lain.

Baca juga: Olahraga Gulat di Asian Games yang Digambarkan di Atas Perangko

Bahkan, pun untuk penderita penyakit mental. Karena itu, dewasa ini di semua instansi perawatan penyakit mental negara-negara maju, tenis meja digunakan sebagai olahraga untuk terapi tambahan.

Sebagai olahraga pendukung, permainan "tenis" di meja kecil ini bisa pula membantu memantapkan kondisi untuk olahraga lain. Belum disebut pula perannya yang sangat berarti untuk meredakan ketegangan atlet olahraga lain saat musim kompetisi, seperti atlet catur dan bridge.

Bahkan kalau Anda memiliki anggota keluarga yang sudah lanjut usia, tenis meja juga bagus untuk mereka. Semua itu oleh karena tenis meja mempunyai pengaruh pemantapan kondisi.

Secara fisiologis saja, olahraga ini sudah memberi keuntungan kepada para pemainnya. Pada waktu melakukannya, segala penyimpangan masalah kesehatan dan tekanan kehidupan sehari-hari akan berkurang.

Baca juga:Dengan Total 91 Medali, Inilah Cabang Olahraga yang Paling Sering Memberi Indonesia Medali di Asian Games

Dari penelitian-penelitian tampak bahwa setelah berolahraga mereka menjadi lebih segar bugar.

Jangan pula dikira, respons yang otomatis dan sangat cepat dalam permainan tenis meja tidak memberikan keuntungan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang atlet tenis meja cenderung memiliki reaksi lebih cepat dalam keadaan gawat mendadak.

Paling cepat

Sifat pingpong sangat individualistik. Pun ia merupakan cabang olahraga yang ekspresif dan temperamental. Untung saja, karena bukan tergolong olahraga kontak, cedera jarang terjadi.

Cedera akut, subakut, dan kronis terutama terjadi pada lengan yang digunakan untuk main, dan tungkai atau kaki, meski yang terakhir ini lebih jarang. Seperti halnya olahraga lain, sesekali jatuh dapat pula terjadi.

Baca juga: Masih Muda dan Tidak Diunggulkan, Namun Lanny Kaligis Menjadi Ratu Gelanggang Tenis Asian Games

Yang sering justru cedera ringan macam lepuh (blister) dan kejang. Blister alias lepuh paling sering terjadi pada tangan dan jari yang memegang bat, akibat tekanan langsung secara konstan.

Namun, ukuran sepatu yang kurang tepat atau kaus kaki yang melipat sehingga menimbulkan gesekan terus menerus pada telapak kaki, juga bisa menghasilkan lepuh pada kaki.

Kejang pada otot-otot bisa muncul karena kehilangan garam akibat keringat mencucur berlebihan, terlalu panas, penggunaan otot berlebihan, peregangan berlebihan, atau kelelahan berlebihan (over fatique).

Meski, kejang bisa pula disebabkan oleh makanan atau gangguan peredaran darah setempat pada bagian badan tertentu (misalnya, sepatu terlalu sempit, tali sepatu terlalu kencang, celana terlalu ketat, dll).

Cedera pada otot dan tendon timbul karena kerja otot yang keras. Misalnya pada waktu melakukan stroke tajam, chop, atau lop. Para atlet tenis meja sering mengalaminya pada gelang bahu, sekitar siku, lengan bawah, pergelangan tangan, atau pada tangan karena terus-menerus memegang bat dengan kencang.

Baca juga: Lepas dari Uni Soviet, 5 Negara Ini Mantap Tampil dalam Asian Games Sejak 1994

Karena merupakan olahraga indoor, kita dapat memainkannya kapan saja, bahkan di musim hujan. Sedangkan peralatannya relatif tidak terlalu mahal lagi pula tak memerlukan ruangan terlalu luas.

Luas lapangan permainan yang sangat terbatas menuntut reaksi sangat cepat dalam mengembalikan bola, sehingga cabang olahraga ini merupakan olahraga paling cepat di antara olahraga permainan yang ada.

Uniknya, meski saat pertandingan atlet tenis meja memerlukan kemampuan fisik luar biasa, pada permainan bukan pertandingan, siapa pun, baik pria maupun wanita dengan berbagai tingkatan usia dan kondisi fisik, tetap dapat menikmati olahraga ini.

Perlu refleks dan konsentrasi

Memang benar, cabang olahraga ini dibedakan atas tenis meja yang dipertandingkan (kompetitif) dan yang tidak dipertandingkan (non-kompetitif). Jelas saja, pada tenis meja non-kompetitif, persyaratan fisik dan fisiologis jauh berbeda dari yang dipertandingkan.

Baca juga: Ketika eSports Menjadi Cabang Olahraga di Asian Games, Akankah Pemain Mobile Legend Akan Menjadi Atlet?

Persyaratan terpenting adalah keterampilan neuromuskuler (saraf - otot) untuk memperoleh kondisi refleks dan konsentrasi yang baik. Kedua komponen tersebut boleh dikatakan merupakan persyaratan terpenting pada tenis meja non-pertandingan.

Sebaliknya pada tenis meja kompetitif atau yang dipertandingkan, kedua hal itu saja jauh dari cukup. Diperlukan kecepatan yang hebat, kekuatan memukul, dan endurance (daya tahan). Jadi selain tenaga, juga sangat dibutuhkan daya tahan otot, jantung, dan pernapasan.

Seorang atlet pingpong yang harus menjalani pertandingan juga harus mampu lari 5 km agar bisa meraih dan mengembalikan bola, yang kecepatan maksimumnya bisa mencapai 125 – 140 km per jam.

Memang benar, pencapaian refleks dan konsentrasi yang terkondisi merupakan persyaratan utama pada tenis meja kompetitif. Namun, kelincahan kaki, kecepatan, antisipasi, koordinasi, dan taktik juga sangat penting.

Baca juga: Inilah Senjata yang Telah Mencetak Para Pahlawan Dunia dan Atlet Kelas Internasional di Asian Games

Kondisi refleks atau refleks yang dimiliki pemain bukan diperoleh secara genetis, karenanya pemain harus berlatih sejak awal. Apalagi kondisi refleks akan melemah dengan berjalannya waktu. Makin kurang baik kondisi refleksnya, makin cepat hilangnya.

Ini menunjukkan, untuk memelihara atau meningkatkan kondisi refleks diperlukan program latihan yang konsisten dalam jangka waktu cukup lama.

Maka dari itu untuk menjadi pemain kompetitif, kita harus melakukan latihan terencana selama 4 - 5 tahun plus memiliki pengalaman pertandingan.

Umur paling baik untuk menjadi pemain tenis meja kompetitif pada pria adalah 18-30 tahun dan pada wanita 16-26 tahun.

Barangkali perlu dicatat adanya sedikit perbedaan antara pria dan wanita dalam respons fisiologis.

Persisnya, dalam mengembangkan keterampilan neuromuskuler untuk meningkatkan tenaga otot (terutama pada lengan yang digunakan untuk main), daya tahan otot (pada lengan yang digunakan untuk main dan kedua kaki), serta daya tahan jantung dan pernapasan.

Baca juga:Lanny Gumulya Peloncat Indah Asian Games 1962 yang Serba Bisa dan Berhasil dalam Olahraga maupun Kehidupan Rumah Tangga

Ini terjadi lantaran wanita sedikit lebih lemah.

Karena kebugaran fisik dan mental diperlukan dalam tenis meja kompetitif, pemeriksaan klinis terhadap atlet-atlet tenis meja harus betul-betul teliti.

Selain pemeriksaan fisik lengkap, juga harus dilakukan evaluasi terhadap metode latihan, pengaturan makan, keadaan lingkungan, masalah usia, seks, dan pekerjaan, serta pencegahan cedera.

Karena merupakan olahraga indoor, maka perlu diberikan perhatian pada kondisi paru-paru. Artinya, secara periodik haruslah diadakan pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan dengan sinar rontgen. Juga karena permainan ini biasanya menggunakan sinar lampu, pemeriksaan mata secara periodik pun sangat dianjurkan.

Nah, kalau semuanya beres, bersiaplah menjadi atlet tenis meja handal, atau kalau bukan atlet, setidaknya pemain kehidupan yang lebih gesit dan bugar berkat tenis meja.

Baca juga: Yuk Coba 9 Cara Meningkatkan Stamina Tubuh Ala Atlet Asian Games

Artikel Terkait