Orang-orang selatan juga merasa bahwa pemerintah pusat memaksakan budaya dan agama pada mereka.
Sejak semula, secara historis Sudan terbelah menjadi dua: utara didominasi orang-orang Arab dan Muslim, sedangkan selatan non-Arab, animis, dan Kristen.
Persoalan ini pula yang mengobarkan perang saudara pertama (1955-1972), setahun sebelum merdeka (Sudan merdeka 1 Januari 1956).
Ketika pecah perang saudara kedua (1983-2005), penyebabnya tetap sama, pertarungan politik-ekonomi dilatari oleh masalah agama dan etnis.
Perang Saudara Sudan Kedua (kadang-kadang disebut Anyanya II) dimulai tahun 1983, meskipun perang ini secara besar merupakan lanjutan dari Perang Saudara Sudan Pertama tahun 1955 sampai 1972.
Perang ini terjadi di Sudan Selatan dan merupakan salah satu perang terpanjang dan mematikan pada abad ke-20.
Secara kasar, 1.9 juta penduduk tewas di Sudan selatan, dan lebih dari 4 juta penduduk terpaksa mengungsi.
Jumlah kematian dalam perang ini merupakan salah satu yang terbesar setelah Perang Dunia II.
Karena itu, ketika pada akhirnya tercapai kesepakatan damai, dunia pun menyambutnya dengan perasaan lega.
Bahkan, ketika pada akhirnya tanggal 9 Juli 2011, Sudan Selatan dinyatakan sebagai negara berdaulat dan merdeka, terpisah dari Sudan utara, dunia seperti berpesta.
Tak kurang dari 30 kepala negara ikut merayakan kelahiran negara baru itu.
Hadir juga Sekjen PBB Ban Ki- moon.
Dunia bernapas lega. Perang saudara di Sudan yang kalau dihitung sudah berlangsung 55 tahun, yang sudah merobek-robek nilai-nilai kemanusiaan, berakhir sudah.
Meski begitu dampak yang dirasakan dari perang itu begitu nyata, seperti halnya kelaparan yang fotonya dibaikan seperti dalam foto di atas. (*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?
Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR