Secara teknis gas ini merusak saluran pernapasan manusia. Seperti kasus kematian yang terjadi pada korban kebakaran, akibat terlalu banyak menghirup asap.
Akibat serangan gas beracun yang sulit dihindari itu, untuk mengantisipasinya, pihak Sekutu kemudian melengkapi pasukannya yang ada di garis depan dengan perlengkapan perang nubika (nuklir, biologi, kimia).
Namun pada tahap awal peralatan yang dipakai masih tergolong sangat sederhana.
Pasca pertempuran di Ypres untuk unit-unit pasukan Sekutu seperti 2nd Battalion, Argyll and Sutherland Highlanders, hanya dibekali dengan goggle plus penutup hidung-mulut dari kain katun.
Secara teori penutup hidung-mulut mesti selalu dibasahi dengan larutan air soda.
Baca juga: Breaking News: AS, Prancis, dan Inggris Lancarkan Serangan ke Suriah
Namun penerapan di lapangan kerap berbeda. Lantaran larutan soda terbilang minim, tak jarang sang pengguna menggantinya dengan air kencing sendiri.
Cara lain yang masih tergolong primitif untuk menangkal serangan gas adalah dengan memakai peralatan semprot antihama yang biasa dipakai pada pertanian.
Cairan yang dipakai berfungsi untuk menyerap residu dari gas beracun.
Tahun 1917 untuk pertama kali Jerman memakai gas mustard untuk menghantam Sekutu.
Gas-gas mematikan ini dilontarkan dengan bantuan proyektil artileri atau granat. Di lingkungan pasukan Sekutu, serangan Jerman tadi kerap disebut dengan kode HS (Hot Stuff).
Baca juga: Benarkah Serangan Senjata Kimia di Suriah Bisa Picu Perang Dunia III?
Selama PD I tercatat kedua belah pihak memakai sedikitnya dua lusin jenis gas beracun.
Dari serangan itu sedikitnya satu juta personel militer maupun sipil terluka.
Sedangkan sekitar setengah juta orang terbunuh akibat serangan gas beracun yang kemudian dijuluki senjata licik dan biadab serta membunuh siapa saja tanpa pandang bulu itu.
Oleh karena itu gas beracun kemudian dilarang keras digunakan dalam perang apalagi menyerang warga sipil yang tidak terlibat dalam peperangan.
Source | : | wikipedia,warhistoryonline.com |
Penulis | : | Agustinus Winardi |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR