Advertorial
Intisari-Online.com - Hingga saat ini, wabah virus corona Covid-19 yang menyerang China telah menelan korban jiwa hingga 2.250 orang dan jumlah kasus mencapai 76.806.
Namun, di tengah wabah tersebut, rupanya kekuatan militer China masih diwaspadai oleh AS.
Seorang pejabat Pentagon menerangkan, AS harus bersiap jika terjadi konflik militer melawan China, dengan menciptakan senjata baru dan memperkuat relasi dengan sekutu.
Pernyataan itu disampaikan Chad Sbragia, Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk China.
Dia menuturkan peluang konflik dengan China terbuka lebar.
"Ini adalah proses jangka panjang. Kami harus gesit dan pintar," kata Sbragia saat berbicara dalam acara Komisi Peninjau Keamanan dan Ekonomi AS-China.
Sbragia menjelaskan, Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) adalah musuh tangguh yang semakin hari semakin kuat, dikutip SCMP Jumat (21/2/2020).
Mantan Atase Pentagon di Negeri "Panda" itu menuturkan, Beijing menggabungkan ambisi lama mereka dengan berbagai peralatan tempur mutakhir.
Baca Juga: Praktis! Inilah 3 Cara Menurunkan Panas pada Anak, Orangtua Tak Perlu Khawatir Lagi
"Pernikahan" ideologi dan sumber daya itu membuat PLA mengancam kepentingan AS, memodernisasi militer, hingga mengembangkan keberadaan mereka di ranah global.
Dalam kacamata Sbragia, karena Negeri "Panda" bisa mengembangkan kemampuan yang sampai mengancam kepentingan AS, Pentagon harus melakukan perbaikan.
Di antaranya lebih banyak membangun senjata hipersonik, mengembangkan kecerdasan buatan, robot, hingga menciptakan senjata laser.
Setelah itu, prioritas kedua Kementerian Pertahanan adalah memperkuat aliansi dengan sekutu yang sudah ada, dan menarik relasi baru.
Sbragia mengatakan, kebijakan itu sudah tertuang dalam keputusan Kongres 2000 silam, yang meninjau dampak pertahanan akan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan China.
Dia mengatakan, relasi tersebut akan memberikan keuntungan "asimetris" yang tidak bisa dikalahkan Beijing, serta membuka pasar dan perbatasan yang bebas.
Pentagon sudah menetapkan aliansi pertahanan di Asia Tenggara dan Pasifik melalui persekutuan Indo-Pasifik. Meski begitu, sekutu juga dibuat dengan Negeri "Uncle Sam".
Terutama di masa pemerintahan Presiden Donald Trump, di mana dia menggunakan pendekatan agresif seperti menaikkan tarif, hingga keluar dari perjanjian multilateral.
Sbragia menolak membeberkan jika Washington terkejut dengan langkah Filipina yang hendak keluar dari pakta militer dua negara.
Negara kepulauan itu terletak di Laut China Selatan, yang menjadi lokasi potensial bagi Beijing jika ingin mengembangkan militer di wilayah sengketa.
Sbragia hanya berkata upaya China untuk menarik sekutunya tak membuatnya terkejut. "Ini kompetisi. Kita harus melihatnya dengan jernih. Negeri ini tengah dalam tekanan," paparnya.
Dia melanjutkan, untuk menghadapi Negeri "Panda" diperlukan peningkatan strategi militer, penggunaan anggaran secara efektif, hingga menjaga teknologi AS.
Sbragia memaparkan bagaimana China mempunyai cetak biru yang ambisius.
Selain kepemilikan pangkalan luar negeri, juga ada penyatuan Taiwan, kalau perlu secara paksa.
Berbagai proyek ambisius yang dibawakan negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu membuat potensi konflik militer, ujar Sbragia, tak terhindarkan.
Meski begitu, Sbragia menegaskan bahwa kompetisi dengan China bukan berarti konfrontasi, atau harus berujung terhadap konflik.
"Washington berharap bisa mempertahankan relasi pertahanan yang konstruktif, stabil, dan berorientasi terhadap hasil," jelasnya.
Ardi Priyatno Utomo
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pejabat Pentagon: AS Harus Bersiap jika Terjadi Konflik Militer dengan China"