Advertorial

Catat! Ini Bahayanya Makan Siput yang Tidak Benar-benar Matang

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Pecinta makanan siput atau tutut tidak matang benar saat merebusnya dapat berbahaya bagi tubuh, karena cacing di siput dapat merusak hati.
Pecinta makanan siput atau tutut tidak matang benar saat merebusnya dapat berbahaya bagi tubuh, karena cacing di siput dapat merusak hati.

Intisari-Online.com – Di Jawa Tengah dulu pernah ada berita santer, bahwa siput-siput air tawar kita dapat dijual kepada seorang - agen tengkulak, yang bersedia membeli siput kiloan dengan barga yang lumayan.

Konon, siput-siput ini akan diekspor ke Iuar negeri.

Untuk beberapa bulan lamanya, gerakan mengumpulkan siput dari sawah, rawa-rawa, tepi sungai dan saluran-saluran irigasi itu jadi ramai.

Dan di pasar-pasar makin banyak orang menjual kreco rebus, seperti menjual kacang godog saja, yang dibungkus dengan contong daun pisang.

Tapi sebagai gerakan yang sudah-sudah di muka bumi Indonesia kita ini, (yang jarang sekali bisa kontinyu), gerakan siput inipun kemudian tidak begitu santer lagi suaranya.

Di kawasan Asia ini memang ada yang suka makan siput sepanjang masa. Terutama penduduk daerah pedalaman negeri Cina dan negeri-negeri yang djteinpati “overseas Chinese".

BACA JUGA:Makan Daging dan Seafood Bisa Membuat Kanker Lebih Mematikan, tapi Bagi Para Ilmuwan Ini adalah Berita 'Bahagia'

Di Pulau Jawa sendiri juga ada sementara orang yang sudah sejak dulu terkenal mempunyai kebiasaah makan siput, terutama di daerah-daerah pedalaman yang masih belum berkembang perekonomiannya(bahasa polosnya: tandus).

Siput yang paling umum dimakan adalah Keong gondang (Ampullaria ampullacea) yang berbentuk bulat seperti buah appel, sampai disebut appelslak oleh orang-orang Belanda dulu.

Ukurannya lumayan besarnya. Rata-rata sebesar sawo kecik, meskipun kalau dibiarkan hidup sampai tua bisa sampai sebesar muk (yang kecil). Rumah keong gondang tua yang nyarak sungute dalam nyanyian Semut Ireng-nya Dandang gula ini memang sering dipakai sebagai cangkir untuk munim burung dalam sanggar bambu.

Yang lainnya adalah siput-siput yang tetapi kecil ukurannya, (sekali pun dibiarkan tua), seperti kreco, kece, atau susuh (Melania testudinaria) yang rumahnya runcing memanjang itu; Siput rawa atau Tutut (Vivipara javanica) yang rumahnya lebih buntek sampai seperti kukusan bentuknya, dan lebih banyak kite ketemukan di rawa-rawa sampai dipanggil moerashorenslak (tempo doeloe); dan Siput selokan atau poelslak (Limnaea javanica) yang lebih kecil lagi ukurannya daripada susuh dan keong gondang.

Interior rumah siput

Siput-siput ini semua hidup menderita sebagai makhluk yang terjerat kakinya dalam rumahnya sendiri, sampai terpaksa berjalan dengan perut.

Karena itu mereka disebut binatang-binatang Gastro (perut) poda (kaki), karena memang menggunakan perutnya sebagai kaki, untuk nggeremet.

Pernahkah Anda membayangkan seekor makhluk yang seumur hidup harus berjalan dengan perut sambil menggotong-gotong rumah ?

Rumah siput dibangun dari bahan kapur. Dan karena bahan bangunan ini hanya disaIurkan dari salah satu sisi badan saja, maka rumah itu makin menderita tekanan ke sisinya yang lain, sehingga roboh ke samping.

Agaknya siput-siput bisa saja menyesuaikan pertumbuhan badannya menuruti liku-liku ketidak-setangkupan rumah roboh ini, sekaJipun kemudian terpaksa kepeiuntir tubuhnya.

BACA JUGA: Rutin Makan Seafood? Diperkirakan Anda Menelan 11.000 Partikel Plastik Tiap Tahunnya

Rumah roboh ini pada umumnya mempunyai bagan tata-dalam sebagai berikut.

Di pendopo rumah ada lidah parut yang bekerja sebagai semacam mesin giling full automatic, mengolah bahan makanan yang masuk dari pintu depan cepat sekali menjadi semacam bubur bayem.

Tapi karena mesin ini terletak di tingkat bawah dari pencakar langit yang roboh, maka bubur hasil gilingannya terpaksa harus dibawa naik dulu melalui tangga putar yang kepeluntir, untuk menuju ke usus yang berada di kamar loteng.

Kalau sisanya hendak dibuang, maka sisa-sisa ini harus turun lagi ke bawah kembali. Hanya susahnya: kamar kecil (untuk membuang air besar) terletak persis di daerah tengkuk.

Jadi siput itu terpaksa tunduk-tunduk sebentar, setiap kali ada “tembakan" kotoran keluar.

Tempat cacing

Bagi para penggemar tutut, kreco, dan keong gondang, jajan siput rebus (yang harus disedot dari dalam rumahnya dulu, supaya bisa meloncat salto mortale ke dalam mulut, sebelum meluncur ke tenggorokan) betul-betul merupakan delicatesse khas yang tak ada duanya di dunia ini.

Sayang sekali, sebagaimana halnya dengan perkara-perkara lain yang nikmat di dunia ini, siput nikmat inipun dapat mengganggu kesehatan kita, karena mengandung benih-benih cacing Trematoda.

Cacing ini memang senang hidup sebagai parasit dalam tubuh makhluk lain, baik sejak jaman batu dulu, maupun jaman Skylab sekarang ini.

Yang paling kesohor ialah cacing Fasciola hepatica, yang menganggu kesehatan hewan ternak kita, seperti sapi kurus, kerbau dungu, atau kambing hitam.

Cacing dewasanya bersemayam dalam hati atau hepar para korban (karena itu juga disebut hepatica), dan bertelur seenaknya sendiri.

BACA JUGA: Catatan Bagi yang Suka Makan Seafood: Wanita Ini Meninggal Setelah Konsumsi Tiram Mentah yang di Dalamnya Terdapat Bakteri Berbahaya

Berjuta-juta butir biasanya memang musnah, tapi beberapa di antaranya ada yang jatuh bersama kotoran kambing ke dalam air kecomberan yang mengalir ke selokan-selokan menuju ke sawah, rawa atau sungai.

Ada yang kemudian beruntung menetas menjadi larva cacing, yang untuk mudahnya disebut Myracidium, karena berbulu getar dan hidup bebas dalam air.

Dalam petualangannya mengarungi lautan air inilah, akhirnya larva itu mendarat ditubuh seekor siput yang memang sudah lama berlabuh di tepi perairan yang bersangkutan.

Dalam badan siput ini, Myracidium itu menanggalkan pakaian bulu getarnya (yang kini sudah tak berguna lagi karena tak perlu bertualang seperti dalam air bebas dulu), dan berubahlah ia menjadi semacam kantong saja, yang untuk memudahkan para calon sarjana cacing disebut sporocyste.

Kalau kantong sporocyste ini nanti meledak karena sudah masak, maka larva-larva cacing yang tadinya tumbuh meringkuk dalam tahanan itu akan keduar.

“Keluar" berarti masih berantakan dalam tubuh siput inangnya itu juga.

Larva-larva model baru ini juga mempunyai nama, yaitu Redia (menurut nama seorang penyelidik ilmiah Italia : Redi, yang hidup dalam abad ke-17).

Tuan Redi hidup sebagai seorang manusje van alles serba bisa, yang selalu ingin dianggap paling pinter sendiri di seluruh muka bumi, karena dapat menggertak tentang segala macam hal.

Namanya termasyur sebagai orang yang sering berkelahi dengan majikan-majikan pekerjaannya yang terdahulu.

Tapi mungkin ia akan marah-marah mengajak berkelahi lagi, kalau ia mendengar namanya sekarang ternyata hanya dipakai untuk memanggil cacing-cacing saja, yang hidup dalam perut siput di kecomberan-kecomberan.

BACA JUGA: Bijak Menyantap Seafood

Dalam Redia itu terbentuk lagi telur-telur baru yang nantinya dapat menetas menjadi redia baru lagi. Tapi kebanyakan akan menetas menjadi larva baru yang lain lagi modelnya. Yaitu mempunyai ekor. Jadi siap sedia untuk berenang lagi.

Dan model inipun mempunyai nama lain juga : Cercaria, untuk memudahkan (kegagalan) ujian para mahasiswa ilmu cacing-cacing.

Ia (cacingnya itu) meninggalkan badan siput, kemudian berenang sejauh jauhnya ke tempat lain, untuk kemudian menetap pada salah sebatang tanaman tepian, seperti rumput-rumputan misalnya.

Ekornya yang tidak berguna lagi itu kemudian ditanggalkan, dan ia membangun semacam rumah kaca (cyste) berdinding tebal dari lendir kental yang all weather proof, tahan segala macam badai dan taufan.

Dalam cyste yang kuat inilah ia tak dapat berbuat lain kecuali menunggu saja dengan sabar kedatangan seekor sapi kurus, kerbau ngantuk atau kambing hitam yang berkenan makan rumput, yang ketempelan cyste itu.

Dalam perut binatang tak berdosa ini, dinding cyste itu dilarutkan oleh asam chlorida getah lambung.

Dan cacing muda yang muncul daripadanya kelak menembus dinding usus, untuk masuk ke dalam pembuluh darah menuju ke hati. Di sinilah cacing itu betul-betul “makan ati".

Bagaimana kalau cyste itu tidak menempel pada rumput, tapi pada rumah siput lain yang berjejer-jejer di tepi selokan, kemudian dipungut orang dan dijual di pasar debu sebagai kreco asin rebus?

Sangat boleh jadi ada yang mungkin kurang masak merebusnya, sehingga cyste yang weather proof, tahan segala masih tahan menghadapi segala macam kemungkinan, baik yang mungkin maupun yang tidak mungkin.

BACA JUGA: Konsumsi Seafood Demi Jantung Sehat

Kalau kreco semacam ini kemudian kita hisap dari dalam rumahnya, maka sangat boleh jadi ada cyste utuh yang ikut nebeng meluncur ke tenggorokan, masuk perut kita.

Kalau kemudian pecah karena bekerjanya asam chlorida getah lambung dalam perut kita, maka cacing yang kemudian tumbuh sebagai cacing dewasa akan merusak hati juga.

Biasanya kita akan menderita “penyakit kuning", kalau serangan cacing itu sampai menganggu tugas pekerjaan hati kita (yaitu menghasilkan empedu untuk memecah lemak), sehingga banyak butiran-butiran lemak yang lolos ke usus dan diserap oleh darah menembus dinding.

Kalau kemudian banyak yang beredar dengan darah ke seluruh tubuh, mereka menyebabkan warna kuning pada mata dan kulit orang yang bersangkutan.

Gara-gara keselundupan cacing Trematoda, karena makan siput yang kurang matang memasaknya.

(Ditulis oleh Slamet Soeseno. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1974)

Artikel Terkait