Advertorial
Intisari-Online.com – Masalah Palestina atau sengketa Arab-Israel tentang tanah Palestina telah lebih dari setengah abad memenuhi halaman sejarah Timur Tengah.
Bangsa Yahudi sebagai bangsa pendatang baru, karena alasan-alasan historis dan religius, telah mengklaim Palestina sebagai tanah airnya.
Sedang penduduk Arab-Palestina yang sejak berabad-abad mendiami negeri itu mempertahankannya sebagai tanah airnya pula.
Masalah Palestina itu bertambah ruwet lagi dengan campur tangannya negara-negara besar yang melibatkan kepentingannya dengan persoalan tersebut.
Agar bisa memahami masalah Palestina ini lebih jelas, perlu kita sekarang selintas pandang membalik-balik lembaran sejarah negeri itu, terutama pada masa-masa sekitar seabad yang lalu.
Sejarah kuno Israel
Menurut kisah kitaib-kitab suci umat Yahudi, Kristen maupun Islam, bangsa Arab dan Yahudi itu sesungguhnya adalah sama-sama keturunan Nabi Ibrahim, seorang Nabi yang mereka muliakan bersama.
BACA JUGA: Perang Arab-Israel, Perang Berkepanjangan yang Tak akan Berhenti Sebelum Warga Palestina Merdeka
Dari putera Nabi Ibrahim tertua bernama Nabi Ismail, berkembanglah kemudian keturunannya menjadi bangsa Arab yang sejak semula menetap di daerah Jasirah Arabia. Sedang dari putera kediia bernama Nabi Ishak, turun ke Nabi Yakub, berkembanglah kemudian keturunannya menjadi bangsa Israel atau bangsa Yahudi.
Sejarah bangsa Israel di Palestina, telah dimulai kira-kira sejak abad 14 Sebelum Masehi (SM). Kerajaan Israel yang pertama berkembang di zaman pemerintahan raja Daud, yang membangun kota benteng di atas bukit Zion, yang kemudian dikenal sebagai kota Yerusalem.
Kerajaan Israel mencapai puncak kejayaannya di zaman pemerintahan raja Sulaiman (975 — 935 SM), putera Daud. Di zaman inilah didirikan bangunan suci yang megah di Yerusalem, disebut Baitullah atau Heikal Sulaiman, yang kemegahannya selalu dikenang oleh bangsa Yahudi sepanjang zaman.
Sepeninggal Sulaiman kerajaan Israel cepat mundur karena perpecahan, sehingga sejak abad 8 SM, bangsa Israel berturut-turut dan berganti-ganti dijajah oleh bangsa Assyria, Babilonia, Persia, Yunani, dan terakhir bangsa Romawi.
Ketika pada tahun 586 SM bangsa Babilonia menyerang Israel, kota Yerusalem dan bangunan Baitullah telah dihancurkannya dan ribuan orang Israel dibuang ke Babilonia sebagai budak.
Di masa penjajahan Romawi, bangsa Israel pernah pula mencoba berontak di tahun 70 SM, tetapi bisa ditindas dengan kejam oleh Jenderal Vespasianus dan kota Yerusalem untuk kedua kalinya dihancurkan dan dibakar.
Sejak peristiwa itu, banyak orang-orang Yahudi kemudian meninggalkan negeri mereka, dan hidup menetap tersebar diberbagai negeri, sehingga jumlah penduduk Yahudi di Palestina lambat laun menjadi menipis; sedang penduduk Arab yang semula sebagai pendatang kian lama kian bertambah besar.
Arab Palestine
Sebelum agama Islam berkembang di abad 7 M, telah banyak saudagar Arab bermukim di negeri Palsatina. Setelah agama Islam berkembang, dan Kalifah Umar pada tahun 637 M berhasil merebut Palestina dari tangan bangsa Romawi, maka sejak itu makin banyaklah orang Arab menetap di Palestina.
BACA JUGA: Perang Arab-Israel 1948, Perang yang Berujung pada Pengukuhan Kemerdekaan Israel secara Sepihak
Negeri Palestina dengan Yerusalemnya, memang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan beragama umat Islam. Sebab di kota Yerusalem ini pula terletak salah satu bangunan suci Islam, yaitu mesjid Aqsha atau Baitul Maqdis.
Mesjid ini merupakan salah satu di antara tiga Mesjid utama Islam, dua yang lain adalah mesjid Haram di Mekah dan mesjid Nabawi di Madinah. Ketiga mesjid itu diutamakan karena sejarah dan kejadian-kejadian yang berlaku di dalam dan di sekitarnya.
Di mesjid Aqsha inilah dahulu Nabi Mohamad s.a.w telah memperlihatkan kemujijadan mi'rajnya. Karena itu oleh umat Islam mesjid ini dianggap suci dan menjadi salah satu tempat ziarah yang terkenal.
Setelah bangsa Arab menetap berabad-abad di Palestina, mereka telah berkembang menjadi penduduk mayoritas atau penduduk pribumi di negeri itu. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang Arab Palestina.
Wajarlah kalau mereka ini kemudian menganggap Palestina sudah menjadi negeri dan tanah airnya. Seperti halnya sekarang orang-orang Amerika dan Australia, pendatang di abad 17 M itu, menganggap negeri Amerika dan Australia sebagai negeri dan tanah air mereka.
Waktu Palestina dikuasai oleh Turki (1517 — 1919), mulailah ada orang-orang Yahudi yang kembali menetap di Palestina. Sampai pada tahun 1914, jumlah penduduk Yahudi tersebut baru berjumlah 90.000 orang, ditengah-tengah mayoritas penduduk Arab.
Meskipun demikian kedua bangsa itu bisa hidup berdampingan secara damai. Pertentangan Arab-Yahudi di Palestina, baru terjadi kemudian, sejak Palestina dikuasai oleh Inggris (1920 — 1948), dan imigran-imigran Yahudi yang baru membanjiri Palestina dengan membawa cita-cita Zionisme; suatu cita-cita yang mengancam hak hidup bangsa Araib Palestina di negeri dan di tanah airnya sendiri.
Zionisme.
Proses tersebarnya bangsa Yahudi ke seluruh dunia sebenarnya telah berjalan sejak selesainya masa pembuangan Babilonia di abad 6 SM. Di awal abad 1 M saja, sudah ada 5 juta orang Yahudi yang menetap tersebar di wilayah kerajaan Romawi.
BACA JUGA: Setelah Salju Turun di Gurun Sahara, Kini Salju Juga Turun di Salah Satu Gurun di Arab Saudi
Bangsa Yahudi adalah salah satu dari bangsa-bangsa di dunia ini yang mempunyai kesadaran rasial dan nasional yang amat kuat.
Meskipun negara mereka telah hancur dan berabad-abad menetap di negeri orang, dan bercampur darah dengan anak negeri setempat, mereka masih tetap juga bisa memelihara identitas mereka sebagai orang Yahudi.
Hal yang memungkinkannya adalah, karena pada mereka ada ikatan keagamaan (agama Yahudi) yang amat kuat, yang di dalamnya terpateri pula kesadaran sejarah nenek moyangnya di masa lampau.
Di mana-mana orang Yahudi biasanya tinggal menyendiri diperkampungan Yahudi yang di sebut Ghetto. Umumnya mereka hidup sebagai pedagang, bankir atau rentenir; terkenal rajin, ulet dan hemat (terkenal pelit), sehingga banyak di antaranya menjadi jutawan.
Sifatnya yang demikian itu, ditambah lagi dengan sifatnya yang sukar untuk berasimilasi, menyebabkan diberbagai negeri sering timbul gerakan anti Yahudi atau anti Semit dari penduduk negeri setempat; seperti yang pernah terjadi di Rusia tahun 1882, dan di Jerman dimasa pemerintahan Adolf Hitler.
Sering timbulnya gerakan anti Semit itulah yang kemudian mendorong lahirnya gerakan Zionisme sedunia. Gerakan ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1896 oleh Dr. Theodore Herzl, seorang Yahudi Hongaria di Paris.
Menurut Herzl, satu-satunya obat mujarab untuk menanggulangi anti Semit didunia adalah, menciptakan suatu tanah air bagi bangsa Yahudi.
Melalui pamfletnya yang berjudul "Der Yuden Staat” ia telah mempropagandakan cita-citanya itu. Pada mulanya Herzl belum menegaskan di mana letak tanah air bangsa Yahudi itu. Disebut-sebutnya mula-mula Argentenia dan Palestina.
Tetapi dalam kongres kaum Zionis pertama di Basel, Swiss tahun 1897, mereka telah menetapkan Palestina sebagai pilihannya.
Ada yang beranggapan, bahwa pengertian nation bagi umat Yahudi sekarang ini sesungguhnya telah kabur. Begitu juga sulit untuk menyebut umat Yahudi itu sebagai volk atau ras, karena pada mereka tak kedapatan lagi keseragaman watak dan ciri-ciri jasmani.
Hal ini diakui pula oleh seorang sosiolog Yahudi terkenal, George Friedman. Pada garis besarnya sekarang ini ada dua macam orang Yahudi. Orang Yahudi Eropah, berkulit putih, tingkat hidupnya sudah tinggi dan maju, dan dalam segala hal merasa dirinya lebih, dan orang Yahudi dari Afrika dan Asia yang berkulit berwarna, umumnya terbelakang dan miskin.
Orang Yahudi-Eropah itulah yang kini mendominir dan berkuasa di negara Israel. Di luar kedua golongan itu, masih ada lagi orang Yahudi kaum proselit. Yaitu mereka yang sebenarnya bukan orang Yahudi, tetapi kemudian meng-Yahudikan diri karena mereka memeluk agama Yahudi.
Mereka ini banyak terdapat di Asia, Afrika dan di Eropah Timur (Ukraina, Polandia).
Dengan pengertian nation yang kabur itulah kini kaum Zionis dengan dalih sejarah keturunan Yakub, menuntut Palestina sebagai tanah air mereka. Tanpa mereka memikirkan hak bangsa lain, bangsa Arab Palestina yang telah menjadi penduduk pribuminya.
Gara-gara politik Inggris di Timur Tengah
Waktu Perang Dunia I pecah (1914-1918), di front Timur Tengah, Inggris harus menghadapi kekuatan Turki sebagai lawan utama. Untuk itu Inggris lalu mendekati rakyat Arab di daerah tersebut, untuk diajak bersama-sama melawan Turki.
Dengan janji manis kalau Inggris menang, bangsa Arab akan dibebaskan dari penjajahan Turki dan diberi kemerdekaan. Tetapi sementara itu, tanpa setahu pihak Arab, Inggrispun telah mendekati pula kaum Zionis Yahudi, yang pada saat itu pada umumnya lebih cenderung pro Jerman.
BACA JUGA: Anwar Sadat yang Dipuja, Dibenci, dan Dibunuh Tentaranya Sendiri
Terutama orang-orang Yahudi di Amerika Serikat dikhawatirkan akan melambatkan bantuan perang A.S kepada Inggris. Sedang orang-orang Yahudi di Rusia yang berpengaruh besar dalam Partai Komunis (Bolsyevik) dikhawatirkan akan bisa mendorong Rusia berdamai sepihak dengan Jerman.
Karena itu ketika kaum Zionis melalui Baron de Rotschild, jutawan Yahudi, berkirim surat kepada Menlu Inggris Balfour, yang berisi permohonan agar Inggris menyatakan simpatinya kepada Zionisme, maka serta-merta pada tanggal 2 Nopember 1917, Balfour telah menjawaibnya.
Isi jawaban surat tersebut kemudian dikenal sebagai Balfour Declaration, yang berisi janji Inggris untuk memberikan tempat tinggal nasional di Palestina bagi orang Yahudi di seluruh dunia.
Dengan Balfour Declaration inilah sebenarnya pangkal sengketa dan keruwetan di Palestina telah diletakkan. Di satu pihak Inggris berjanji kepada Arab akan memberi kemerdekaan, jadi termasuk pula Arab Palestina, tetapi di pihak lain Inggris berjanji pula kepada Yahudi akan memberikan Palestina kepada mereka.
Tetapi di pihak lain lagi, secara rahasia Inggris telah pula mengadakan persetujuan dengan Perancis untuk membagi-bagi Timur Tengah bagi mereka berdua; Inggris akan memperoleh Irak dan Palestina, dan Perancis akan memperoleh Libanon dan Suriafa.
Setelah perang berakhir dan persetujuan perdamaian Versailles dirumuskan, Inggris dan Perancis tetap berpegang teguh pada dasar persetujuan mereka tadi. Dengan membawa mandat Liga Bangsa-bangsa, Inggris kemudian memerintah Irak dan Palestina.
Mandat Inggris di Palestina
Setelah Inggris berkuasa di Palestina, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah, mengangkat Sir Herbert Samuel, seorang keturunan Yahudi, menjadi Komisaris Tinggi Inggris di Palestina. Dengan tindakan tersebut jelas Inggris akan berusaha menetapi janjinya kepada pihak Yahudi.
Sejak itu pintu Palestina lalu terbuka lebar bagi masuknya imigran Yahudi dari berbagai penjuru Dunia. Akibatnya jumlah imigran Yahudi ke Palestina tiap tahun terus meningkat.
BACA JUGA: Demi Dukung Palestina, Pemuda Ini Nekat Retas Email Pejabat Tinggi CIA
Dari 7000 orang pada tahun 1923, meningkat menjadi 23.800 orang pada tahun 1926 dan pada tahun 1935 bahkan menanjak menjadi 61.854 orang.
Bersama dengan mengalirnya imigran itu mengalir pula modal Yahudi ke Palestina, yang mereka tanamkan dalam industri dan tanah-tanah pertanian, dengan memborongi tanah-tanah pertanian subur milik petani-petani yang umumnya miskin-miskin.
Menghadapi policy Inggris dan kaum Zionis itu, orang-orang Arab Palestina mula-mula hanya bisa memendam rasa cemas dan gusar. Tetapi ibarat api dalam sekam, rasa terpendam itu makin lama makin berkobar, sehingga akhirnya meledak menjadi suatu pemberontakan.
Pemberontakan besar terjadi pada tahun 1936 yang mendapat simpati luas dari dunia Arab.
Untuk meredakan pembrontakan ini, Inggris lalu menawarkan suatu rencana kepada pihak Arab dan Yahudi, untuk membagi negeri Palestina menjadi dua, bagi Arab dan Yahudi.
Sedang kota-kota suci Yerusalem, Betlehem dan Nasareth akan tetap dikuasai oleh Inggris. Tetapi rencana tersebut ditolak oleh pihak Arab, sebab yang mereka tuntut adalah, agar Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina, dan Palestina menjadi negara merdeka bagi mereka.
Pada tahun 1937, pemberontakan berkobar lagi lebih hebat. Inggris menindasnya dengan kekerasan yang meminta korban sampai 6000 orang, 4000 di antaranya adalah orang Arab.
Sementara itu bahaya Perang Dunia II telah berada di ambang pintu. Di Timur Tengah, pihak Jerman aktif melancarkan propaganda menarik simpati bangsa Arab. Suatu simpati Arab kepada Jerman, bisa berakibat fatal bagi kepentingan Inggris di Timur Tengah, yaitu kepentingan minyaknya dan kepentingan terusan Suez.
Karena itu ,sejak tahun 1939, Inggris lalu merubah strategi politiknya di Paletina. Inggris kemudian mendekati pihak Arab dengan mengeluarkan White Paper (Buku Putih) yang isinya lebih menguntungkan pihak Arab.
White Paper itu pokok isinya mengandung janji Inggris untuk mendirikan Negara Palestina Merdeka dalam jangka waktu 10 tahun, yang dalam pemerintahannya akan turut bersama orang Arab dan Yahudi; imigran Yahudi dibatasi hanya 75 ribu orang buat jangka waktu 5 tahun, lalu dihentikan; dan penjualan tanah Arab kepada Yahudi dilarang.
Rencana itu ditolak oleh pihak Yahudi, sedang pihak Arab sebagai penduduk mayoritas menerimanya, meskipun dengan curiga.
Kecewa dengan White Paper itu, kaum Zionis setelah Perang Dunia II meletus, lalu memalingkan harapannya kepada Amerikat Serikat, bukan lagi kepada Inggris. Karena itu selama perang aktivitas kaum Zionis lalu dipusatkan untuk mempengaruhi publik A.S.
Hasil aktivitas mereka tersebut bisa dilihat ketika pada bulan Pebruari 1944 ada usul di Kongres, agar AS melakukan intervensi untuk membentuk Commonwealth Yahudi di Palestina.
Meskipun usul tersebut belum diterima, karena alasan-alasan kepentingan strategi militer A.S di Timur Tengah saat itu, namun sejak itu sikap pemerintah AS makin bersimpati kepada kaum Zionis.
Setelah perang berakhir, A.S terang-terangan mendukung kaum Zionis, dan mendesak kepada Inggris agar 100.000 imigran Yahudi diperkenankan masuk ke Palestina.
(Drs. Moehkardi – Intisari Maret 1974)
BACA JUGA: Getol Lawan Israel Demi Perjuangkan Kemerdekaan Palestina, Hamas Justru Diancam oleh ISIS