Kelancaran tugas, dengan instruksi tersebut bisa berjalan baik. Namun sebuah penertiban ke dalam masih tetap harus dilakukan. Ini mendorong keluarnya peraturan yang dikenal dengan nama “Pranatan Bukbiru" pada tahun 1873.
Di mana disebutkan, bahwa seorang kepala desa yang jelas mengetahui sesuatu kejahatan tetapi tidak bertindak, langsung dipecat dari semua jabatannya.
Peraturan diatas tidak hanya berlaku bagi para kepala desa, tetapi juga berlaku bagi para pembesar polisi, yang disebut Panewu Polisi.
Pranatan Bukbiru menetapkan juga, bahwa seorang Panewu Polisi yang meninggal tidak dalam kejahatan terhadap negara, keturunannya mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk menggantikan jabatan.
Delapan syarat harus mereka penuhi, yakni ; mereka harus pandai, cakap, berkelakuan baik, suka bekerja, tidak madat, berjudi, suka minuman keras dan belum pernah melakukan kejahatan.
Delapan persyaratan tadi dipertimbangkan dan dalam pengangkatannya Raja tidak memperdulikan apakah mereka itu merupakan anak pertama, terakhir atau hanya anak menantu.
Hak-hak “istimewa" bagi keturunan Panewu berakhir dengan keluarnya peraturan baru Pakubuwono ke X pada tanggal 22 Maret 1917.
Yang menyebutkan, bahwa tidak otomatis para ahli waris menggantikan kedudukan orang tuanya. Hanya mereka yang mencukupi syarat Kerajaan Surakarta berhak menjadi pegawai.
Ini tidak hanya berlaku untuk jabatan Panewu, tetapi berlaku juga bagi jabatan Wedana Kliwon, Mantri, Lurah, Bekel ataupun Jajar.
Tentu saja, penghapusan hak-hak istimewa tersebut untuk sebagian orang dirasakan amat merugikan, meskipun, untuk sebagian yang lain, sekarang terbuka lebar kesempatan membuktikan kecakapan mereka.
(Ditulis oleh Julius Pour. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1974)
(Baca juga: Kesal Di-bully Mempunyai Wajah Seperti Penyihir, Wanita Ini Putuskan Operasi dan Begini Hasilnya)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR