Advertorial
Intisari-Online.com – Sampai tahun 1811, setiap narapidana di Kerajaan Surakarta masih bisa diancam dengan hukuman paling berat.
Hukuman tersebut tidak hanya hukuman mati secara biasa, tetapi menjatuhkan hukuman mati dengan cara menyiksanya terlebih dahulu.
Sri Susuhunan Surakarta, nampaknya mendasarkan tindakannya seperti apa yang tertulis dalam kitab suci. Menetapkan berbagai macam tingkat dalam pelaksanaan hukuman.
Yang “ringan” misalnya, melaksanakan pemotongan kaki, tangan ataupun kuping narapidana. Tetapi, untuk beberapa jenis kejahatan tertentu, ditetapkan hukuman paling berat.
(Baca juga: (Foto) Mayat-mayat Ini 'Dihidupkan' Kembali Justru dalam Acara Pemakamannya, Aneh Sekaligus Mengerikan!)
Ada dua macam cara, yang biasa dilaksanakan untuk hukuman siksa tersebut. Keduanya bisa disaksikan oleh segenap rakyat secara berramai-ramai, karena pelaksanaannya dilakukan di tengah Alun-alun, persis di muka Kraton.
Cara pertama, adalah menghukum seseorang dengan mengadunya melawan Harimau.
Sedang cara kedua, dianggap lebih berat, menjatuhkan hukuman “picis". Di mana dalam pelaksanaannya, tubuh narapidana tersebut dilukai dengan pisau.
Kemudian, Iuka-luka yang terjadi diberi air campuran garam dan asam. Dapat dibayangkan, bagaimana derita yang mereka tanggung, sampai akhirnya secara perlahan-lahan, kematian datang.
(Baca juga: Terkuak! Oknum Perawat National Hospital Leluasa Bertindak Cabul, Ternyata Pasien Cantik Itu Habis Operasi Ini)
Perjanjian dengan Inggris
Kedatangan Inggris di tahun 1811 ke pulau Jawa, membawa sesuatu perubahan. Raffles melarang terjadinya pelaksanaan hukuman mati yang terlampau kejam. Meskipun tidak ada laporan menunjukkan, kapan hukuman “siksa" terakhir dilaksanakan.
Tetapi secara resmi, setiap narapidana masih bisa diancam dengan hukuman siksa. Untuk ini, ia mendesak Sri Susuhunan Pakubuwono ke IX, agar merubah peraturan pelaksanaan hukuman semacam itu. Pembaca sebaiknya memahami dahulu, latar belakang tindakan Raffles.
Di Kerajaan Inggris, pelaksanaan hukuman mati pernah menjadi perdebatan seru. Pada abad ke X, pelaksanaan hukuman mati diterima secara wajar. Tetapi ketika William si Penakluk (1066-1087) naik tahta, ia melarang pelaksanaan hukuman mati.
(Baca juga: Catat! Mulai Hari Ini WhatsApp Tak Bisa Lagi Dipakai di Smartphone Berikut)
Namun, beberapa tahun setelah ini, Henry I (1100-1135) membolehkan kembali pelaksanaan hukuman mati. Dengan cara dipancung atau hukuman gantung.
Bahkan, sampai dengan abad ke XVI, narapidana sering harus menjalani kematiannya secara ditenggelamkan ke sungai, atau dengan berbagai macam jenis siksaan lainnya.
Catatan yang ada menunjukkan, pada jamannya pemerintahan Henry ke VIII, rekor pelaksanaan hukuman mati ter-“capai". Selama ia berkuasa, 72.000 narapidana telah dijatuhi hukuman mati.
Inilah sebabnya, pada permulaan abad ke XIX, sedang terjadi perdebatan seru, boleh tidaknya hukuman siksa dilaksanakan.
(Baca juga: Operasi Plastik Berujung Maut, Sebelum Kematiannya Bagian Tubuh Ini yang Ingin Dirombak oleh Wanita Cantik Ini)
Beberapa pihak mengakui, bahwa untuk beberapa jenis kejahatan tertentu semacam mengkhianati negara, membunuh penjaga penjara atauipun polisi yang sedang bertugas, hukuman mati “wajar" jika dijatuhkan.
Masalahnya adalah, kematian tersebut wajib berjalan cepat, tidak dengan berlama-lama, di mana si terhukum harus menanggung siksa terlebih dahulu.
Bagaimanapun juga, Sri Susuhunan Pakubuwono ke IX menyetujui desakan Raffles. Dalam perjanjiannya tertanggal 1 Agustus 1812, bab IX, Sunan berjanji menghapuskan pelaksanaan hukuman siksa.
Termasuk dalam hal ini, pelaksanaan hukuman dengan memotong bagian-bagian tubuh yang “bersalah”.
Sejak itu pula, secara resmi hukuman siksa tidak lagi dilakukan. Bagi kejahatan berat, misalnya mencuri kerbau di malam hari, terhukum menerima hukuman badan.
Sedang kejahatan ringan, seperti pencurian kambing, pencopetan atau perampasan. Mereka menerima hukuman cambuk sebanyak 100 atau 200 kali, tergantung dari nilai benda yang dicuri.
Malam hari, berjalan harus membawa lampu.
Hutan dan padang yang luas masa itu menyuburkan tindakan kejahatan. Apalagi penduduk masih sedikit dan penjaga keamanan belum ada di setiap tempat.
Untuk mengurangi peristiwa kejahatan, Kerajaan Surakarta mengeluarkan peraturan baru pada tahun 1867. Di mana ditentukan, bahwa setiap pegawai Kerajaan dengan pangkat Mantri ke atas, berjalan di malam hari harus membawa lampu minyak tanah (ting) yang dinyalakan.
Bagi penduduk biasa, harus membekali dirinya dengan obor atau “upet". Yakni obor kecil yang diiperoleh dari membakar bunga pohon Kluwih.
Dengan keluarnya peraturan di atas, setiap pejalan malam hari yang tidak membawa alat penerangan, dianggap penjahat atau paling tidak mempunyai niat jahat. Untuk ini, para petugas keamanan langsung boleh mengejar serta menangkapnya.
Instruksi, yang dikeluarkan sendiri oleh Pakubuwono ke X pada tanggal 3 Maret 1867 tersebut mengatur juga tentang peningkatan jumlah gardu penjagaan di sepanjang jalan serta penambahan tenaga-tenaga petugas keamanan.
Koordinasi dengan Mangkunegaran.
Berbatasan dengan Kerajaan Surakarta, terletak daerah Mangkunegaran. Para penjahat nampaknya memanfaatkan adanya batas daerah tersebut. Dalam arti, mereka melakukan kejahatan di Surakarta, kemudian lari menyingkir ke Mangkunegaran. Begitu, atau sebaliknya.
Tentu saja, cara menghindar semacam ini menyulitkan para petugas keamanan. Mengapa? Karena mereka dilarang mengejar, masuk ke daerah lain.
Kesulitan berakhir di tahun 1869, tanggal 20 Desember, pada waktu Residen Surakarta mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur “koordinasi". Sekarang, polisi keamanan berhak melakukan pengejaran, sampai di manapun penjahat bersembunyi.
Bahkan penggeledahan rumah tersangka di luar daerah wewenangnya, dapat dilakukan asalkan sudah memberitahu kepala desa yang bersangkutan. Tentu saja, dalam penggeledahan ini, kepala desa harus ikut menyaksikan sebagai saksi.
Kelancaran tugas, dengan instruksi tersebut bisa berjalan baik. Namun sebuah penertiban ke dalam masih tetap harus dilakukan. Ini mendorong keluarnya peraturan yang dikenal dengan nama “Pranatan Bukbiru" pada tahun 1873.
Di mana disebutkan, bahwa seorang kepala desa yang jelas mengetahui sesuatu kejahatan tetapi tidak bertindak, langsung dipecat dari semua jabatannya.
Peraturan diatas tidak hanya berlaku bagi para kepala desa, tetapi juga berlaku bagi para pembesar polisi, yang disebut Panewu Polisi.
Pranatan Bukbiru menetapkan juga, bahwa seorang Panewu Polisi yang meninggal tidak dalam kejahatan terhadap negara, keturunannya mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk menggantikan jabatan.
Delapan syarat harus mereka penuhi, yakni ; mereka harus pandai, cakap, berkelakuan baik, suka bekerja, tidak madat, berjudi, suka minuman keras dan belum pernah melakukan kejahatan.
Delapan persyaratan tadi dipertimbangkan dan dalam pengangkatannya Raja tidak memperdulikan apakah mereka itu merupakan anak pertama, terakhir atau hanya anak menantu.
Hak-hak “istimewa" bagi keturunan Panewu berakhir dengan keluarnya peraturan baru Pakubuwono ke X pada tanggal 22 Maret 1917.
Yang menyebutkan, bahwa tidak otomatis para ahli waris menggantikan kedudukan orang tuanya. Hanya mereka yang mencukupi syarat Kerajaan Surakarta berhak menjadi pegawai.
Ini tidak hanya berlaku untuk jabatan Panewu, tetapi berlaku juga bagi jabatan Wedana Kliwon, Mantri, Lurah, Bekel ataupun Jajar.
Tentu saja, penghapusan hak-hak istimewa tersebut untuk sebagian orang dirasakan amat merugikan, meskipun, untuk sebagian yang lain, sekarang terbuka lebar kesempatan membuktikan kecakapan mereka.
(Ditulis oleh Julius Pour. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1974)
(Baca juga: Kesal Di-bully Mempunyai Wajah Seperti Penyihir, Wanita Ini Putuskan Operasi dan Begini Hasilnya)