Advertorial
Intisari-Online.com - Mbah Jono. Begitu dia kerap disapa orang-orang di sekitar Pemakaman Sasono Mukti di belakang Pasar Rejosari di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Kakek berusia 87 tahun bernama asli Sujono itu sudah puluhan tahun tinggal di kawasan pemakaman itu.
Dia tinggal di sebuah gubuk kecil di sudut kompleks pemakaman.
Di sana, pria yang hidup sebatang kara itu merajut kehidupan, mengerjakan apa saja yang halal, mulai dari mengelola keindahan makam hingga memunguti sampah pasar yang masih bisa dipakai.
(Baca juga:Inilah Kisah Lain dari Dyah Putri Utami, Pengantin Baru yang Tuliskan 'Suamiku Selamat Jalan')
Siang itu, Mbah Jono sedang asyik menambal keranjang anyaman bambu. Keranjang-keranjang itu akan digunakannya untuk menampung sampah-sampah yang dipungutnya.
Ketika ditemui, tanpa sungkan, dia mempersilakan mendekat ke gubuknya, sebuah bangunan papan kayu berukuran 3 meter x 3 meter dengan satu bilik.
Di halaman, berbagai barang terserak, baik itu perlengkapan pribadinya maupun barang hasil pungutan di tempat sampah, seperti alas kaki bekas yang jumlahnya mencapai belasan.
"Hari ini makam sepi, tetapi biasanya sewaktu-waktu ada pihak keluarga yang datang menjenguk. Seperti ini tadi," katanya dalam bahasa Jawa menunjuk salah satu makam yang bertaburkan bunga-bunga di atasnya.
Mbah Jono sendiri samar tentang pengalaman pertamanya datang ke pemakaman ini.
Pria yang mengaku berasal dari Dusun Kluwungan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu tak ingat pasti kapan pertama kali datang dan kemudian tinggal di sana.
"Dulu saya di sini menjadi tukang sapu, upahnya Rp 100. Di dekat pasar itu dulu ada banyak rumah,” ungkapnya.
“Tetapi kemudian digusur dan semuanya pindah, kecuali saya sampai akhirnya semua pekerjaan saya jalani di sini dan setelah usia semakin tua, saya menjadi penjaga makam.”
(Baca juga:Dari Ramayana Hingga Atlantis, Inilah Legenda-legenda Kuno yang Ternyata Dibuat Berdasarkan Kisah Nyata)
Hidup sendirian berdampingan dengan makam-makam bukan berarti Mbah Jono tidak menemui kendala. Salah satunya adalah gurauan warga soal makam baru.
Namun, Mbah Jono tak menganggap serius ledekan itu.
"Lihat saja sendiri malam nanti apakah saya di sini atau tidak," katanya sambil tertawa.
Mbah Jono sendiri pernah memiliki pengalaman pahit.
Gubuknya terbakar pada 2016. Kala itu, Mbah Jono sedang menumpang mandi di salah satu rumah warga, tidak jauh dari pemakaman.
Tanpa disadari, lampu teplok yang digunakannya sebagai penerang jatuh dari tempatnya dan membakar gubuk kayu itu.
Menurut petugas penjaga makam yang resmi, Rajimin (76), puing-puing gubuk Mbah Jono kemudian diperbaiki lagi.
Sejak saat itu, Mbah Jono bisa tinggal dengan lebih nyaman.
"Saya mengenal beliau sejak tahun 1983. Pernah kami antarkan beliau kepada keluarganya, tetapi sambutannya agak kurang baik sehingga beliau kembali tinggal di sini," ungkapnya.
Tanpa sanak saudara, Mbah Jono tetap mendapatkan perhatian pemerintah setempat.
Selain memiliki KTP, Mbah Jono yang secara identitas beralamat di RT 002 RW 001, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, itu juga memiliki Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera.
Meski menjalani kehidupan seperti saat ini, Mbah Jono mengaku tidak berharap apa-apa.
Dia mengatakan sudah bahagia. Mbah Jono hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan terus bekerja sebagai pencari barang-barang bekas di tempat sampah belakang pasar sambil mengawasi makam.
"Banyak yang bertanya, mengapa saya masih sehat bugar di usia sekarang, apa rahasianya.”
“Saya jawab tidak ada rahasia, saya menjalani hidup sewajarnya saja, apalagi di usia setua ini, kalau lelah, saya istirahat," tuturnya. (Caroline Damanik)
(Baca juga:Kisah Lies Mariani yang Sembuh dari Kanker lalu Membuat Ramuan Antikanker)
(Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul "Rahasia Bahagia Mbah Jono yang Puluhan Tahun Jaga Makam, Jalani Hidup Sewajarnya")