Advertorial

Adu Hidung Dulu Sebelum Adu Jotos, Pertarungan Baru Usai Saat Salah Satu Tewas Atau Angkat Tangan

Yoyok Prima Maulana

Editor

Persis seperti kucing yang mau cakar-carakan, atlet tinju Yunani berabad lalu harus adu hidung lebih dulu sebelum adu jotos.
Persis seperti kucing yang mau cakar-carakan, atlet tinju Yunani berabad lalu harus adu hidung lebih dulu sebelum adu jotos.

Intisari-Online.com – Persis seperti kucing yang mau cakar-carakan, atlet tinju Yunani berabad lalu harus adu hidung lebih dulu sebelum adu jotos. Tujuannya, saling menjatuhkan mental lawan.

Begitu priiit, baru keduanya saling memukul, menendang, atau menjambak. Pertarungan tanpa peraturan itu baru berakhir sampai salah satunya teler.

Itulah pancratium, cikal bakal tinju. Sejarahnya sebagai “olahraga” sudah ada sejak 2.000 – 1.500 tahun SM di Mesir.

Sumber lain menyatakan 4.000 tahun SM. Penyebaran selanjutnya menuju Mesopotamia, Kreta, barulah Romawi.

BACA JUGA:Marinir, Hantu Laut yang Digembleng Bak Petinju dan Jago Bertempur Secara Senyap

Olahraga ini juga dipertandingkan pada olimpiade kuno. Tangan petarung dilapisi kulit keras, dinamakan cetus, untuk melukai lawan sekaligus melindungi diri.

Anak-anak muda calon prajurit dibekali pula kemampuan beladiri ini.

Pertarungan ini semakin populer ketika para budak membawanya ke Romawi. Tinju masa jahilliyah ini lebih mengerikan.

Pelapis tangan diberi logam agar pukulan semakin mantap dan wajah lawan semakin tak berbentuk.

BACA JUGA:Muhammad Ali Bukan Petinju yang Tak Bisa Dikalahkan: Inilah Lima Petinju yang Pernah Mengalahkan Ali

Pertarungan tak akan dihentikan sebelum lawan mengangkat tangan atau malah tewas. Pada abad keempat, pukulan pada kepala mulai menjadi teknik efektif untuk menjatuhkan lawan.

Pertarungan satu lawan satu muncul kembali pada abad pertengahan di Inggris Barat dan utara. Bentuknya masih mirip kombinasi gulat dan perkelahian jalanan.

Adu jotos memasuki era baru setelah James Figg, jawara petarung 1719 – 1739, membuka sekolah beladiri. Pelajarannya mencakup penggunaan senjata sampai perkelahian yang diistilahkan the manly arts of self defense.

Peraturan pertandingannya kemudian dipertegas Jack Broughton pada 1743, seperti larangan bermain curang dan penggunaan sebuah arena pertarungan. Pada masa ini sarung tinju baru dipakai dalam latihan.

Peraturan ala Broughton baru dibakukan dengan nama London Prize Ring (LPR) pada 1838, yang direvisi tahun 1858. LPR mengatur bahwa arena pertarungan mempunyai sisi tujuh meter yang dikelilingi tali dengan wasit dan dua juri.

Setiap petinju yang roboh diberi istirahat 30 detik. Petinju juga sudah dibagi menjadi beberapa kelas. Dari kelas ringan (hingga 63,5 kg), kelas menengah (hingga 71,7 kg), dan kelas berat (di atas 71,7 kg).

BACA JUGA:Momen Dramatis, Ketika Ibu Kerbau Melihat Anaknya Diserang 14 Singa, Inilah yang Dilakukannya

Sir John Sholto Douglas, dari Queensberry, melengkapinya dengan Queensberry Rules pada 1872. Isinya antara lain, satu ronde tiga menit, dilarang menghajar lawan yang sudah roboh, dilarang menyerang bawah pinggang, dan adanya sepuluh hitungan setelah KO (knock out).

Petinju legendaris masa itu, John L. Sullivan, mengukuhkan diri sebagai juara sejati setelah mengalahkan jago Amerka, Paddy Ryan, di Mississippi City pada 1882. Sullivan baru KO oleh James J. Corbett pada 1892 di New Orleans. Inilah pertandingan profesional pertama yang memakai sarung tinju.

Di negeri Paman Sam, tinju baru dilegalkan pada 1896 oleh Negara Bagian New York. Namun, keputusan itu dianulir empat tahun kemudian. Baru pada 1920 kembali diizinkan.

Adalah promotor George L. Rickard, yang membawa tinju memasuki masa keemasan di Amerika karena banjir uang. Salah satu pertarungan bersejarah adalah pada 1921 saat juara kelas berat, Jack Dempsey, melawan George Carpentier di Jersey City.

BACA JUGA:(Foto) Inilah 6 Kejadian Mengerikan yang Pernah Tertangkap Oleh Kamera 'Drone', Termasuk Saat Seseorang Dipenggal

Dempsey menang empat ronde dan menghasilkan uang penjualan tiket hampir AS$1,8 juta. Angka penjualan melonjak satu setengah kali lipat setelah Dempsey dikalahkan Gene Tunney enam tahun kemudian.

Sejak saat itu petinju asal Amerika bergantian mencatat sejarah. Joe Louis selama kariernya antara 1933 – 1949 bisa menghasilkan AS$ 24 juta. Rocky Marciano hingga 1956 menang 49 kali, 43 di antaranya dengan KO.

Ada pula Muhammad Ali, petinju “bermulut besar” yang hampir selalu bisa membuktikan ucapannya. Pasca Ali, muncul petinju ternama dari berbagai kelas, di antaranya Sugar Ray Leonard dan si leher beton Mike Tyson.

BACA JUGA:Cegah Panas Dalam dengan Minum Air dari Kulit Durian, Memangnya Ampuh?

Artikel Terkait