Intisari-Online.com – Persis seperti kucing yang mau cakar-carakan, atlet tinju Yunani berabad lalu harus adu hidung lebih dulu sebelum adu jotos. Tujuannya, saling menjatuhkan mental lawan.
Begitu priiit, baru keduanya saling memukul, menendang, atau menjambak. Pertarungan tanpa peraturan itu baru berakhir sampai salah satunya teler.
Itulah pancratium, cikal bakal tinju. Sejarahnya sebagai “olahraga” sudah ada sejak 2.000 – 1.500 tahun SM di Mesir.
Sumber lain menyatakan 4.000 tahun SM. Penyebaran selanjutnya menuju Mesopotamia, Kreta, barulah Romawi.
BACA JUGA: Marinir, Hantu Laut yang Digembleng Bak Petinju dan Jago Bertempur Secara Senyap
Olahraga ini juga dipertandingkan pada olimpiade kuno. Tangan petarung dilapisi kulit keras, dinamakan cetus, untuk melukai lawan sekaligus melindungi diri.
Anak-anak muda calon prajurit dibekali pula kemampuan beladiri ini.
Pertarungan ini semakin populer ketika para budak membawanya ke Romawi. Tinju masa jahilliyah ini lebih mengerikan.
Pelapis tangan diberi logam agar pukulan semakin mantap dan wajah lawan semakin tak berbentuk.
BACA JUGA: Muhammad Ali Bukan Petinju yang Tak Bisa Dikalahkan: Inilah Lima Petinju yang Pernah Mengalahkan Ali
Pertarungan tak akan dihentikan sebelum lawan mengangkat tangan atau malah tewas. Pada abad keempat, pukulan pada kepala mulai menjadi teknik efektif untuk menjatuhkan lawan.
Pertarungan satu lawan satu muncul kembali pada abad pertengahan di Inggris Barat dan utara. Bentuknya masih mirip kombinasi gulat dan perkelahian jalanan.
Adu jotos memasuki era baru setelah James Figg, jawara petarung 1719 – 1739, membuka sekolah beladiri. Pelajarannya mencakup penggunaan senjata sampai perkelahian yang diistilahkan the manly arts of self defense.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR