Warga Singapura lainnya dipenjara tahun lalu, setelah sidang tertutup, karena memberikan lebih dari S$ 1.000 (US $ 740) kepada seorang pengkhotbah Jamaika yang telah dipenjara karena menggerakkan kebencian rasial.
Imran akan kembali ke pengadilan pada hari Selasa untuk mendengarkan vonis Hakim Distrik Seah Chi-Ling.
Jika dinyatakan bersalah atas pelanggaran penyediaan properti dan layanan untuk tujuan teroris, ia dapat dipenjara hingga 10 tahun, didenda hingga S$ 500.000 (US $ 370.000) atau keduanya.
Imran telah ditahan di bawah Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA) sejak Agustus 2017.
Kementerian Dalam Negeri (MHA) sebelumnya mengatakan bahwa ia telah diradikalisasi oleh propaganda kekerasan Isis dan telah mencoba melakukan perjalanan ke Suriah setidaknya dua kali pada tahun 2014 dan 2015 untuk bergabung dengan kelompok tersebut.
MHA juga mengatakan dia berjanji setia kepada khalifah yang dideklarasikan sendiri oleh Isis, Abu Bakar al-Baghdadi, pada Juli 2014.
Menurut kementerian Singapura, Imran mengakui bahwa ia siap untuk menyerang tentara Singapura yang dikerahkan dalam koalisi global melawan Isis, atau menahan mereka sebagai sandera untuk "menuntut tebusan" dari pemerintah Singapura dengan tujuan membantu meningkatkan keuangan kelompok.
Imran juga berusaha untuk menggalang dukungan bagi Isis online, seperti dengan berbagi propaganda melalui berbagai akun media sosial yang ia bawahi.
Pandangannya yang radikal dan pro-militan menarik perhatian orang-orang yang dekat dengannya, yang kemudian melaporkannya ke pihak berwenang, kata MHA seperti yang dilansir South China Morning Post.
Source | : | Kontan.co.id |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR