Advertorial
Intisari-Online.com - Dalam sejarahnya, Sungai Ciliwung yang membelah wilayah Jakarta selalu dirundung masalah. Tak bisa menolak ketika dijadikan tempat sampah warga di sekitar atau yang tiap hari melintas. Ketika marah karena jadi tempat buang sampah, “badan”nya diotak-atik agar tak bikin masalah.
Sampah dan limbah sudah akrab dengan keseharian Sungai Ciliwung sejak ratusan tahun silam. Pada 1740, misalnya. Air Sungai Ciliwung dinyatakan tak sehat karena banyaknya sampah dan limbah dari rumah sakit yang dibuang ke sungai. Akibatnya, berjangkit penyakit desentri dan kolera yang menyebabkan tingginya angka kematian di Batavia saat itu.
Padahal, tahun 1689, air Sungai Ciliwung masih dimanfaatkan untuk minum dan kebutuhan rumah tangga oleh penduduk di bantaran sungai.
Jauh sebelumnya, menjadi sarana transportasi bagi Kerajaan Padjadjaran yang beribu kota di Pakuan (Bogor) untuk menuju pelabuhan di pantai utara seperti Banten, Tangerang, dan Sunda Kelapa.
Baca Juga: Dulu Orang Belanda Minum Air Ciliwung
Zaman berubah namun “budaya” buang sampah tak ikut berubah. Hanya jenis sampah yang berubah. Volume terus bertambah.
Sumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017 menyebutkan, setiap hari sekitar 7.000 ton sampah dibuang di Sungai Ciliwung. Dari hulu sampai hilir sungai. Paling parah di wilayah Bogor dan Depok.
Dri sejumlah itu, hanya 75 persen yang bisa “diambil”. Sekitar 25 persen terbawa aliran sungai. Lalu8 persen lagi atau sekitar 180 ton mengendap dan mencemari Kali Ciliwung.
Melihat kondisi seperti itu, orang-orang pun mulai peduli dengan Sungai Ciliwung. Lahirlah komunitas-komunitas peduli Ciliwung di sepanjang aliran sungai itu. Salah satunya River Ranger yang berada di kawasan Astawana, Condet, Jakarta Timur.
Anak menonton judi
River Ranger didirikan oleh Syahiq Harpi (30). Bermula dari rasa prihatinnya terhadap banjir yang hampir tiap tahun melanda sebagian kawasan bantaran Sungai Ciliwung di wilayah Condet. Ditambah dengan warga yang membuang sampah sembarangan, utamanya ke sungai. Jika melihat situasinya, memang sungai di kawasan Condet ibarat halaman belakang yang tertutup rimbunan halaman depan rumah penduduk. Karena posisi membelakangi itu jadi kepedulian pun tak terpupuk.
Sebelum mendirikan River Ranger, Harpi sudah bergabung dengan Komunitas Peduli Ciliwung. Hanya saja di tengah jalan ada kebijakan komunitas yang kurang sreg di mata Harpi. Ia pun keluar dari komunitas itu.
Pada 17 Juli 2017 ia mendirikan River Ranger Jakarta yang berbasis di Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, bersama Andriana. Mereka memilih anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sebagai target utama binaannya. “Dengan mengajari anak-anak, mereka akan menularkannya ke keluarga juga,” tutur Harpi.
Namun, jalan menuju ke situ tak lurus mulus. Harpi sendiri saat itu baru kembali ke Condet setelah beberapa lama tinggal di luar Condet. Sementara kondisi masyarakat saat itu kurang kondusif. “Saat sore hari, saya melihat pemandangan yang tidak enak. Orangtua kumpul-kumpul sambil berjudi sementara anak-anak menonton. Itu tak bisa ditolelir. Anak belum bisa membedakan mana yang benar mana yang salah,” kata Harpi.
Karena tak ingin menimbulkan masalah dengan langsung menegur perilaku itu, Harpi pun mencoba jalan kesabaran. Dalam benaknya, anak-anak bisa diajak untuk belajar pengetahuan baru. Mereka pun bisa teralihkan dengan “racun judi” di sekitarnya. Namun itu tak menyelesaikan masalah sebenarnya. Bagaimana menghilangkan kebiasaan buruk para orangtua itu?
Harpi pun ikut nongkrong bersama orangtua itu selama sekitr tig buln. I mempelajari kebiasaan-kebiasaan mereka. Setelah diterima, ia pun mengutarakan niatnya untuk membentuk River Ranger. “Saya minta izin ke salah satu warga yang dituakan. Ternyata responnya positif. Ya sudah saya kemudian jalan. Ternyata mereka mendukung,” kata Harpi yang akhirnya mencoba membuka kelas belajar bahasa Inggris dengan menggandeng Andriana yang dikenalnya di komunitas peduli Ciliwung untuk mengajar.
Belajar bersama di salah satu ruang milik penduduk menjadi pintu untuk menanamkan misi River Ranger. “Bukan untuk membersihkan lingkungan, tapi menyadarkan bahwa sampah itu berbahaya bagi lingkungan. Bukan untuk manusia saja, tapi juga makhluk hidup lain.”
Berakhir dengan ecobrick
Betapa tak berdayanya kita untuk membersihkan sampah bisa disimak dari upaya Bebersih Bareng yang dilakukan River Ranger. Kegiatan bulanan ini adalah mengumpulkan sampah yang terdampar di bantaran Sungai Ciliwung tak jauh dari kebun salak milik Pemda DKI Jakarta. Di lahan seluas sekitar 750 meter persegi itu bisa terkumpul sampah sebanyak 7 – 10 kantung plastik berukuran 80 x 100 cm.
Tak hanya bebersih bantaran, mereka juga menaburkan ikan ke sungai. Ada ikan patin dan ikan gabus. Ini untuk menyeimbangkan ekosistem sungai. Sore itu, dari pinggiran sungai terlihat banyak ikan-ikan berlompatan. “Itu ikan sapu-sapu. Paling bisa bertahan di air yang tercemar. Tapi sekaligus merusak dinding sungai karena bikin lubang-lubang,” kata Harpi sambil menunjuk pada lubang-lubang besar di dinding seberang sungai.
Jika pada awalnya sampah-sampah itu didaur ulang, kini dijadikan bahan ecobrick. Bata ramah lingkungan. “Soalnya kalau didaur ulang, ada kemungkinan nanti akan menjadi sampah lagi. Terlebih kebanyakan sampah yang ada adalah sampah plastik yang relatif susah didaur ulang,” terang Harpi.
Baca Juga: Ecobricks, Solusi Pengelolaan Plastik Tanpa Mencemari
Meski berembel-embel batu bata, ecobrick yang merupakan penggabungan kata ‘eco’ dan ‘brick’, bukanlah seperti batu bata dalam bayangan kita. Berbentuk kotak persegi. Namun, ecobrick memang bertujuan sebagai pengganti batu bata konvensional untuk membuat bahan bangunan seperti sekolah dan rumah. Seiring berkembangnya kreativitas para pemerhati lingkungan saat mengolah limbah plastik dengan metode ecobrick, hasil daur ulang tersebut bisa dimanfaatkan pula untuk membuat barang bermanfaat lainnya, seperti bangku, meja, perabotan indoor, ruang kebun, dan pagar rumah.
Ecobrick dibuat dari potongan-potongan kecil sampah plastik seperti kemasan makanan atau minuman, stryofoam, sedotan, dan tali plastik yang dimasukkan ke dalam botol plastik kemasan 600 ml. Tentu saja plastik-plastik itu dibersihkan sebelumnya. Agar bentuk ecobrick nyeni, tentukan warna untuk bagian bawah botol. Soalnya, dalam penggunaan nanti, bagian bawah ini kemungkinan besar yang akan tampak. Agar bisa menjadi bata, potongan-potongan tadi harus dipadatkan menggunakan kayu atau tongkat.
Baca Juga: Stop Sampah Plastik! Berbelanjalah di Bulkstore
“Berat ideal ecobrick adalah antara 200 dan 250 gram. Maka, perlu ditimbang dulu seandainya sudah penuh botolnya. Ecobrick yang sempurna, saat ditekan tidak mengeluarkan suara dan tidak kempes,” kata Harpi.
Karena menjadi solusi tuntas itu, River Ranger pun lebih memilih cara ini. Mereka pun turut menyebarkan pembuatan ecobrick melalui beberapa workshop. Salah satunya saat ada acara pameran flora di Lapangan Banteng Jakarta Pusat. Lewat cara-cara seperti itu dan mendidik anak-anak untuk peduli dengan sampah plastik, River Ranger mencoba mengirim pesan bahwa, “Bumi ini warisan, bukan titipan,” Harpi menutup perjumpaan kami di kebun salak Astawana, Condet, Jakarta Timur.
Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Kelas belajar River Ranger tak hanya diisi dengan bahasa Inggris dan penanaman soal kesadaran lingkungan saja. Syafiq Harpi mengenalkan dengan beberapa wawasan lain. Anak-anak yang awalnya berjumlah enam dan kini berkembang menjadi 15 itu juga diajari soal fotografi dan sinematografi. Mereka juga bekerja sama dengan komunitas lain, seperti yang sedang dilakukan saat ini
Mereka juga diajarkan untuk bergaya hidup ramah lingkungan. “Belanja bawa kantung sendiri. Setiap pertemuan (Rabu dan Jumat) tidak ada plastik sebagai wadah konsumsi. Kalaupun ada sampah, sampah organik yang bisa dijadikan pupuk,” kata Harpi.