Intisari-online.com - Di samping berfungsi sebagai sarana penanggulangan banjir dan angkutan barang, sungai-sungai itu "tempo doeloe" juga menjadi sumber air minum utama bagi warga kota. Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung dipergunakan oleh orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum.
Air kali itu mula-mula ditampung dalam semacam waduk (waterplaats atau aquada). Waduk air itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang lebih 3 m). Dari sana air diangkut dengan perahu oleh para penjual air (waterboereri) dan dijajakan ke kota.
Tampaknya pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada masa itu masih sangat terbatas. Air Kali Ciliwung itu diminum begitu saja tanpa proses penjernihan. Hal itu sempat menimbulkan problem kesehatan yang serius pada masyarakat Belanda.
Pada abad ke-18 dan dasawarsa pertama abad ke-19 itu, penyakit disentri, typhus, bahkan juga kolera, merajalela di antara mereka.
Buku Dr. de Haan mengetengahkan bahwa tentang hal terakhir itu sempat timbul perbedaan pendapat di kalangan para “ahli” Belanda. Ada ahli yang menyatakan pada 1648, air Ciliwung sangat baik (voortreffelijk).
BACA JUGA: Tjipto Mangunkusumo: Si Kromo Bernyali Singa Yang Suka Menolong Orang Miskin
Mungkin memang demikian halnya selagi daerah-daerah di pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni.
Ketika kemudian pembukaan hutan-hutan dan penggarapan tanah semakin meluas, dan pemukiman makin meningkat, air kali pun semakin tercemar. Pada 1689 seorang “ahli” lain mencatat, air yang keluar dari pancuran waduk di Pancoran sangat keruh, bahkan berlumpur di musim hujan!
Sekitar 1685 seorang “ahli” lain lagi tegas-tegas mengatakan bahwa di dalam air itu terdapat “binatang-binatang halus” yang tak tampak mata (onzichtbare beesjes).
“Binatang-binatang halus” yang tentu tak lain dari kuman-kuman itu akan mati kalau air dimasak sebelum diminum, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Hindoestanners (yang dimaksud tentu orang-orang India) dan orang-orang “pribumi” lainnya.
Hal ini pada hakikatnya suatu petunjuk yang jelas bahwa kesehatan dapat terpelihara lebih baik jika orang minum air matang.
Lebih-lebih karena pada tahun 1661 sudah ada laporan dari Banjarmasin bahwa orang-orang Belanda di sana menganut kebiasaan mengendapkan air minumnya satu hari dan kemudian memasaknya. Namun demikian orang-orang Belanda di Betawi masih belum yakin.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR