Sebab, kata dia, pernyataan Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan, memberi kesan Indonesia tidak tegas.
"Para pemimpin ini harus bertemu bagaimana menyikapi ini dan mempertimbangkan pilihan yang ada. Presiden Jokowi harus secepatnya mengambil inisiatif berbicara dengan Xi Jinping. Buka peluang itu untuk meniadakan konflik," tukasnya.
Konflik tak berujung di perairan Natuna
Insiden antara Indonesia dengan China di Natuna utara tak berkesudahan.
Pada 2016, konflik terjadi setelah awak kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menangkap KM Kway Fey 10078 yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna.
Namun saat kapal patroli Indonesia tengah menggiring kapal nelayan milik China ke wilayah Indonesia, muncul kapal penjaga perbatasan China.
Pasca kejadian itu, Kementerian Luar Negeri RI melayangkan nota protes. Sekretaris kabinet kala itu, Pramono Anung, menyebut insiden di perairan Natuna sudah selesai setelah bertemu dengan delegasi China.
"Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap kesalahpahaman," ujar Pramono Anung seperti dilansir Kompas.com, (13/04/2016).
Kemudian pada 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman membuat peta baru yang mengganti nama di kawasan perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara.
Pemerintah berdalih pergantian nama diperlukan untuk mengurai ketidakjelasan batas wilayah dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Hanya saja China keberatan karena dianggap berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di wilayah itu.
Terakhir pada (19/12/2019), sejumlah kapal penangkap ikan milik China memasuki perairan Natuna. Tak cuma itu, kapal penjaga China juga melanggar kedaulatan di sana.
China tak akui putusan arbitrase Laut China Selatan
Pemerintah China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, berkeras China memiliki hak atas perairan yang berbatasan dengan Kepulauan Nansha yakni di Natuna utara.
Bahkan lewat situs resminya pada Jumat (31/12/2019), Geng Shuang, mengatakan keputusan Mahkamah Arbritase PBB yang menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di sana adalah ilegal dan tidak berlaku.
"China dengan tegas menentang negara, organisasi atau individu manapun yang menggunakan putusan arbritase yang tidak sah itu," jawab Geng Shuang.
Sebelumnya pada Jumat (31/12) Geng Shuang, juga mengklaim China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak berdaulat dan yuridiksi atas perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha.
Ia juga berkata, nelayan China telah lama menangkap ikan di perairan di dekat kepulauan tersebut.
Pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan pernah mengakui klaim sepihak China atas teritorial di bagian laut Natuna yang disebut Nine Dash Line seusai peristiwa masuknya kapal nelayan dan Coast Guard China pada akhir Desember 2019.
Adapun Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan tidak akan pernah mengakui klaim China atas nine dash lines (sembilan garis putus-putus) di perairan Natuna. Retno menyebut, batas wilayah itu tanpa dasar hukum.
"Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak yang dilakukan oleh China yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," ujar Retno usai rapat tertutup di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (03/01).
Retno menyebut China merupakan salah satu bagian dari UNCLOS (United Nations Convetion on the Law of the Sea) 1982. Oleh karena itu, ia meminta China wajib menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul China Dinilai Takut Hubungan dengan Indonesia Rusak Karena Natuna, Ini Penyebabnya
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR