Advertorial
Intisari-Online.com - Serangan udara Amerika Serikat di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat (3/1/2020) dini hari menewaskan seorang perwira tinggi Angkatan Bersenjata Iran Mayor Jenderal Qasem Soleimani.
Serangan itu diperintahkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Dikutip dari AFP, dalam sebuah pernyataan di depan kamera televisi di Florida, Trump mengatakan, "Soleimani merencanakan serangan segera terhadap para diplomat dan personel militer Amerika, tetapi kami menangkapnya dalam tindakan itu dan menghentikannya."
Untuk menurunkan ketegangan, Trump menegaskan bahwa ia tidak ingin perang dengan Iran.
Baca Juga: Kurangi Lemak di Perut Saat Tidur dengan Mudah, Cukup Minum Satu Gelas Minuman Ini Sebelum Tidur!
"Kami mengambil tindakan tadi malam untuk menghentikan perang. Kami tidak mengambil tindakan untuk memulai perang," katanya.
Menanggapi tewasnya jenderal besar mereka, sejumlah pejabat Iran, termasuk pemimpin tertingginya, bersumpah akan balas dendam.
Dalam kicauan di akun Twitter, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei mengumumkan tiga hari berkabung atas kematian Qasem Soleimani.
"Dia mati syahid setelah upayanya yang tidak kenal lelah selama bertahun-tahun," ucap Khamenei dilansir AFP Jumat (3/1/2020).
Baca Juga: Curiga Troli Belanjaan yang Dibawa Pasangan Ini, Polisi Temukan Hal Tak Terduga Saat Membukanya
Khamenei menyatakan, dengan kehendak Tuhan, segala pekerjaan maupun langkah komandan 62 tahun itu tidak akan sia-sia.
"Balas dendam yang sangat menyakitkan menunggu para kriminal yang telah menumpahkan darah para martir itu di tangan mereka," ancamnya.
Khamenei menyatakan Soleimani adalah "wajah perlawanan dunia", dan dibunuh oleh negara "paling kejam yang ada di Bumi".
Pemimpin tertinggi itu mengklaim, segala pihak yang berseberangan dengan AS bakal siap untuk membalaskan kematian Soleimani.
"Kehilangan jenderal kami memang pahit. Namun meneruskan perjuangannya dan mencapai kemenangan bakal membuat para penjahat getir," janjinya.
Senada dengan Khamenei, Presiden Hassan Rouhani menyatakan, kematian Soleimani yang disebutnya "syahid" telah menghancurkan negara di Timur Tengah.
"Tidak diragukan lagi Bangsa Iran yang besar dan negara bebas lain bakal balas dendam atas kejahatan ini," tegasnya.
Sementara Menteri Pertahanan Amir Hatami, yang juga komandan Pasukan Quds, berjanji pembalasan yang datang bakal "mengerikan".
"Kami akan menuntut pembalasan dari mereka yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pembunuhannya," janjinya dikutip Sky News.
Jenderal Qasem sendiri dipuji sebagai pahlawan di Iran, disebut sebagai jenderal yang pemberani, kharismatik dan dicintai oleh pasukan.
Dilansir Kompas.com dari Aljazeera, Qasem dilahirkan di Kota Qom pada tahun 1957.
Qasem diketahui dari keluarga petani yang miskin.
Tak memiliki bekal pendidikan tinggi, Qasem bekerja sebagai tukang bangunan untuk membantu kebutuhan keluarganya.
Setelah Revolusi Islam 1979 yang berhasil menjatuhkan rezim Reza Pahlevi, Qasem masuk ke dalam Pasukan Garda Revolusi Iran pada awal 1980.
Perang Teluk I (1980-1988) melawan Irak menjadi debut Qasem di Pasukan Garda Revolusi.
Dalam pertempuran itu, Qasem berperan sebagai salah satu komandan divisi pasukan yang bermarkas di Provinsi Kerman, Iran.
Setelah perang usai, ia mendapat tugas untuk memberantas peredaran narkoba di wilayah perbatasan Iran-Afganistan.
Sukses mengemban tanggung jawab itu, nama Qasem mulai disegani di kalangan pasukan.
Pada 1998, ia ditunjuk menjadi komandan pasukan al-Quds, salah satu divisi di Pasukan Garda Revolusi yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial Iran.
Karena posisi itu, ia banyak terjun dalam urusan intelijen Iran.
Qasem sukses menghentikan pertempuran antara pasukan Irak dan Jaisy al-Mahdi, milisi Syiah yang dibentuk oleh Imam Muqtada al-Sadr pada tahun 2008.
Pada tahun 2011, pamor Qasem semakin kuat di tubuh Pasukan Garda Revolusi Iran hingga diangkat sebagai jenderal.
Berada di belakang Bashar al-Assad, Qasem berperan penting dalam membantunya untuk mencegah aksi revolusi di Suriah semakin meluas.
Ia juga turut serta dalam menghalau para milisi pemberontak di Aleppo dan ISIS pada 2014 hingga akhir 2016.
Peran besar Qasem Solaemani dalam Garda Revolusi Iran menempatkan posisinya sebagai salah satu orang kepercayaan Ayatollah Ali Khamenei.
Bahkan, surat kabar ar-Ra'yu menyebutnya sebagai "James Bond Iran" karena kepiawaiannya dalam meracik strategi militer.
Karier militernya yang dimulai di Irak kini harus berakhir di tempat sama, setelah menjadi target serangan militer AS.
Serangan itu terjadi tiga hari setelah massa pendukung Hashed menyerbu Kedutaan Besar AS di Baghdad.