Advertorial
Intisari-online.com -Tak ada yang bisa memang menghambat atau pun menangkal perubahan iklim yang ada di tanah air.
Tidak dapat dipungkiri juga ini adalah sebuah masalah yang harus kita hadapi, di mana iklim berubah akan memberikan dampak untuk lingkungan.
Sebab saat iklim berubah, dunia pun akan berubah dikarenakan kondisi alam yang juga ikut berubah.
Dengan perubahan iklim, Laut Jawa meningkat, air laut tambah tinggi, dan cuaca di Indonesia menjadi lebih ekstrim.
Awal bulan Desember 2017, badai cuaca aneh mengubah jalan-jalan Jakarta menjadi sungai dan menghambat hampir semua aktivitas di ibu kota.
Seorang peneliti iklim lokal, Irvan Pulungan, khawatir suhu udara akan meningkat beberapa derajat dan permukaan laut akan terus bertambah tinggi hingga tahun-tahun mendatang.
Hal tersebut jelas merupakan malapetaka bagi kota padat penduduk sekaligus pusat pemerintahan Indonesia ini.
Melansir dari New York Times, pemanasan global ternyata bukan satu-satunya penyebab di balik banjir besar yang menyerbu sebagian besar wilayah Jakarta pada tahun 2007.
Masalahnya, kota itu sendiri sedang 'menenggelamkan' dirinya.
Bahkan jika mau dihitung, Jakarta adalah kota yang tenggelam paling cepat dibandingkan kota besar lainnya di planet ini.
Bahkan lebih cepat daripada perubahan iklim yang menyebabkan laut naik.
Begitu cepat sehingga sungai bisa mengalir ke hulu dan hujan biasa bisa menyebabkan genangan air tinggi di mana saja.
Penyebab utamanya: warga Jakarta menggali sumur ilegal.
Menggali sumur ilegal seperti membuka saluran udara sebuah balon yang menahan kota ini di bawah permukaan tanah.
Sekitar 40% daratan Jakarta sekarang terletak di bawah permukaan laut.
Kabupaten-kabupaten pesisir seperti Muara Baru telah tenggelam sebanyak 4,2 meter dalam beberapa tahun terakhir.
Perubahan iklim di sini hanya memperburuk sejumlah keadaan yang sudah terlanjur terjadi.
Dalam kasus Jakarta, penduduk turut membantu kota ini tenggelam lebih cepat.
Pembangunan yang tak terkendali dan tanpa perencanaan matang serta kurangnya saluran pembuangan menjadi faktornya.
Beban bangunan jelas melebihi daya dukung tanah di Jakarta.
Belum lagi masalah lain seperti sungai yang kotor atau sampah yang berserak di atas air.
Ahli hidrologi mengatakan bahwa Jakarta hanya punya satu dekade untuk menghentikan proses tenggelamnya kota.
Jika tidak bisa, Jakarta Utara (kawasan Pluit) akan menjadi lokasi pertama yang berakhir di bawah air.
Jika tidak ada perubahan besar dan revolusi infrastruktur, Jan Sopaheluwakan, peneliti geoteknologi memprediksi Jakarta akan benar-benar tenggelam tahun 2050.
Jakarta tidak akan mampu membangun tembok yang cukup tinggi untuk menahan serbuan air dari sungai dan khususnya Laut Jawa.
Kondisi Jakarta pernah dialami oleh ibu kota Jepang, Tokyo pada tahun 1900 silam.
Saat itu Tokyo mengalami penurunan daratan 365 meter tapi pemerintah Jepang dengan aturan ketat dan revolusi pembangunan mereka berhasil menghentikan penurunan itu.
Sama seperti Tokyo, Jakarta ada pada titik balik dan sudah seharusnya kita berkata "Alam tidak akan lagi menunggu".
(Aulia Dian Permata)