Advertorial

Wacana Hukuman Mati Bagi Terpidana Korupsi di Indonesia Ternyata Bisa Dikabulkan DPR dan Pemerintah, Asalkan Syarat Ini Bisa Terpenuhi

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Intisari-online.com - Pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia ternyata bisa terlaksana.

Kalau masyarakat menginginkan adanya hukuman mati bagi pelaku perbuatan tindak pidana korupsi, maka DPR bersama pemerintah harus melakukan revisi UU Tipikor.

Hal itu disampaikan anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu kepada Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).

"Jika masyarakat menghendaki adanya hukuman mati bagi pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana korupsi seperti yang Presiden Jokowi sampaikan, maka DPR bersama pemerintah harus melakukan revisi UU Tipikor," ujar politikus PDI Perjuangan ini.

Meskipun dia menjelaskan, ancaman hukuman mati untuk terpidana korupsi sudah diatur dalam UU Tipikor.

Baca Juga: Ini Para Pemenang Sayembara Mitra10 IDEA Architecture Design Competition 2019 'Contemporary Small House’

Namun ancaman hukuman mati hanya berlaku untuk kategori korupsi luar biasa.

Ia mengutip pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan perubahan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor,

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

"Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara," jelas Masinton Pasaribu.

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Baca Juga: Ini Para Pemenang Sayembara Mitra10 IDEA Architecture Design Competition 2019 'Contemporary Small House’

Lebih lanjut kata dia, penjelasan pasal 2 ayat 2 frasa dengan 'keadaan tertentu' ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Yakni apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

"Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 ayat 2 itu sampai saat ini belum pernah didakwakan ataupun menjadi landasan vonis hakim dalam pengadilan tindak pidana korupsi," ucap aktivis' 98 ini.

Bikin Mundur Penerapan HAM di Indonesia

Pegiat antikorupsi Hendrik Rosdinar menegaskan hukuman matibukan solusi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Justru menurut dia, penerapan hukuman mati itu hanya akan membuat mundur penerapan HAM di Indonesia.

"Hukuman mati bukan solusi. Itu justru membuat mundur penerapan HAM di Indonesia. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan tanpa melanggar prinsip-prinsip HAM," tegas Manajer Advokasi, Riset, Kampanye YAPPIKA ini kepada Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).

Hal itu disampaikan Hendrik Rosdinar menanggapi presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.

Bagi dia, sebaiknya presiden Jokowi fokus pada pemulihan atau penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketimbang akan mendorong hukuman mati.

Baca Juga: Ibu Hamil Jangan Ragu Lagi untuk Makan Buah Mangga, Ini 9 Manfaat Kesehatan Makan Mangga Saat Kehamilan, Termasuk Mencegah Preeklampsia

"Presiden sebaiknya fokus pada pemulihan KPK. Presiden harus memimpin sendiri perlawanan terhadap pelemahan KPK. Perppu adalah indikator utamanya," jelasnya.

Selain itu dia menjelaskan, presiden juga harus melawan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), termasuk menjauhi praktik dinasti politik.

"Harus diingat, praktik dinasti politik adalah salah satu faktor pendukung suburnya korupsi," ucapnya.

Sasar Aset Koruptor

Peneliti dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai tidak eranya lagi hukuman mati atau pidana badan diganjarkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.

"Hukuman mati atau pidana badan harus ditinggalkan dalam memberantas korupsi," ujar Erwin Natosmal, kepada Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).

Menurut dia, pemberantasan korupsi harus menyasar aset dan kenikmatan ekonomi yang diperoleh para pelaku.

"Harus menyasar aset dan kenikmatan ekonomi yang diperoleh para pelaku," jelasnya.

Selain itu dia menjelaskan, tidak ada satu pun korelasi antara pidana mati dan pengurangan kejahatan.

Bahkan di negara yang menerapkan pidana mati secara eksesif seperti Tiongkok, kata dia, tidak ada bukti empiris hukuman matidapat menurunkan kasus-kasus korupsi.

Baca Juga: Posisi Bos Pelindo Bakal Diisi Ignatius Jonan, Susi Pudjiastusi Gantikan Ari Askhara Sebagai Dirut Garuda?

"Tidak ada bukti empiris hukuman mati dapat menurunkan kasus-kasus korupsi," ucapnya.

Secara normatif dia mengatakan, hukuman mati bisa diterapkan untuk kasus-kasus korupsi di masa bencana.

"Namun dilihat dalam tren global dan politik hukum Indonesia di masa mendatang (seperti RKUHP), hukuman mati tidak lagi diletakan sebagai pidana pokok yang tdk dapat dievaluasi," jelasnya.

Hanya Hukuman Mati

Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean setuju penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).

Hal itu disampaikan politikus Demokrat itu untuk menanggapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.

"Hukuman Mati bagi koruptor memang akan menjadi salah satu upaya bagi menekan perbuatan korupsi. Saya pikir yang namanya manusia, pasti takut mati," tegas Ferdinand kepada Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).

Untuk itu dia menilai, memang sebaiknya satu-satunya ancaman hukuman di UU Tipikor hanya hukuman mati.

"Tak perlu ada ancaman hukuman pidana penjara. Mungkin akan membuat orang takut korupsi," jelas Ferdinand.

Baca Juga: Posisi Bos Pelindo Bakal Diisi Ignatius Jonan, Susi Pudjiastusi Gantikan Ari Askhara Sebagai Dirut Garuda?

Menurut dia, penerapan hukuman mati ini sangat bisa diterapkan. Syaratnya Pemerintah dan DPR sama-sama menyepakati revisi UU Tipikor.

"Revisi UU-nya dan ganti seluruh ancaman hukuman dari pidana penjara menjadi pidana mati. Itu sangat bisa diterapkan asalkan pemerintah dan DPR sepakat," jelasnya.

Jadi, imbuh dia, bolanya ada di pemerintah dan DPR yang sama-sama bisa mengusulkan revisi UU Tipikor.

"Kita tunggu siapa yang akan mengusulkan lebih dulu, apakah pemerintahan Jokowi atau DPR atau ini hanya sebatas retorika pemberantasan korupsi," ucapnya.

Asalkan Ada Kehendak Masyarakat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.

Menurut Jokowi, hukuman mati bagi koruptor bisa dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tipikor, melalui revisi.

"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor itu dimasukkan (hukuman mati), juga termasuk (kehendak anggota dewan) yang ada di legislatif ( DPR)," tegas Jokowi di SMK 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019).

Ketika ditanya apakah akan ada inisiatif pemerintah untuk merivisi UU Tipikor agar hukuman mati masuk dalam salah satu pasal, Jokowi kembali menyebut itu tergantung dari kehendak masyarakat.

"Ya bisa saja kalau jadi kehendak masyarakat," imbuhnya.

Baca Juga: Posisi Bos Pelindo Bakal Diisi Ignatius Jonan, Susi Pudjiastusi Gantikan Ari Askhara Sebagai Dirut Garuda?

Untuk diketahui masalah hukuman mati bagi koruptor muncul ketika seorang siswa SMK 57, Harley Hermansyah mempertanyakan ketegasan pemerintah memberantas korupsi.

Menurutnya, mengapa Indonesia tidak menerapkan hukuman matibagi koruptor.

"Kenapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa tidak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati?" tanya Harley.

Jokowi langsung merespo pertanyaan Harley. Ia menjelaskan aturan hukuman mati ada di dalam UU Tipikor. Namun, sampai hari ini belum ada yang dihukum mati.

"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan," ungkap Jokowi.

Jokowi lalu bertanya ke Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly yang juga hadir di acara tersebut.

Yasonna menjelaskan hukuman mati menjadi salah satu ancaman dalam UU Tipikor. Menurutnya, ancaman itu bisa diterapkan bila korupsi dalam kondisi bencana alam.

Baca Juga: Operasi Lebih dari 3.000 Pasien yang Terinfeksi HIV, Dokter Ini Akhirnya Juga Terinfeksi HIV

Masih Wacana

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly menegaskan penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) masih wacana.

Yasonna mengaku hingga kini masih melihat perkembangan soal penerapan hukuman mati bagi koruptor.

"Ya kan kami lihat aja dulu perkembangannya. Ini masih wacana," ujar Yasonna di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (9/12/2019).

Yasonna menjelaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin membahas jika memang hukuman mati koruptor dikehendaki masyarakat. Sejauh ini, lanjut Yasonna, belum ada rencana revisi UU Tipikor.

"Belum, belum ada revisi. Nanti kalau ada guliran itu kita pertimbangkan," imbuh Politikus PDI-Perjuangan itu.

Yasonna menyebut ancaman hukuman matibagi koruptor sebenarnya sudah ada dalam UU Tipikor. Namun, ancaman itu hanya untuk korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya terjadi bencana alam.

"Kalau emang bencana alam, tapi dia korupsi Rp10jt. Kan ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan. Kalau misalnya ada dana bencana alam Rp100 miliar, dia telan Rp25 miliar. Itu sepertiga dihabisi sama dia, ya itu lain cerita," tambah Yasonna.(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunjambi.com dengan judul TERPIDANA Korupsi Bakal Dihukum Mati, DPR dan Pemerintah Sepakat Asalkan Syarat Ini Terpenuhi

Artikel Terkait