Adanya perjanjian ini memaksa Belanda untuk menyerahkan seluruh kekayaan Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) saat itu.
Termasuk dalam daftar kekayaan yang diserahkan adalah maskapai KLM (Koininklijke Luchtvaart Maatschppij-Inter-Insulair Bedrijf)-IIB.
KLM IIB adalah anak perusahaan KLM setelah mengambil alih maskapai swasta K.N.I.L.M (Koninklijke Nederlandshindische Luchtvaart Maatschappij) yang sudah ada sejak 1928 di Hindia Belanda.
Semua awak dan pesawat yang disewakan pun kembali ke Indonesia pada 1950, baik pesawat maupun fungsinya, dan langsung dikembalikan pada AURI dalam formasi Dinas Angkatan Udara Militer.
Menindaklanjuti kesepakatan KMB, pada 21 Desember 1949 Pemerintah Indonesia dan KLM mengadakan perundingan untuk mendirikan maskapai nasional.
Presiden Soekarno pun memilih dan memutuskan maskapai nasional ini untuk dinamai dengan Garuda Indonesian Airways (GIA).
Pesawat Dakota
Untuk mempersiapkan staf udara dari Indonesia, pihak KLM menempatkan sejumlah stafnya untuk tetap bertugas melatih para staf udara Indonesia.
Maka, pada masa peralihan itu, orang Belanda lah yang pertama menjadi Direktur Utama GIA.
Dia adalah Dr. E. Konijneburg.
Armada pertama maskapai nasional ini juga berasal dari peninggalan KLM-IIB dan bukan armada Indonesian Airways yang notabene dimiliki oleh AURI.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda (27/12/1949), GIA pun terbang untuk pertama kalinya.
Dua buah pesawat Dakota (DC-3) diterbangkan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta menuju Yogyakarta guna menjemput Soekarno.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR