Advertorial
Intisari-online.com -Betapa luar biasanya aksi yang berhasil dilakukan oleh Purwanto (65), warga Dusun Banaran I, Desa Banaran.
Sebagai penggagas 'budidaya madu', rupanya petani kecil ini sudah puluhan tahun menggeluti madu.
Bermata pencaharian petani tadah hujan khas warga Gunungkidul, awalnya dia hanya membudidayakan palawija saat musim kemarau dan padi saat musim hujan.
Kemudian mulai di tahun 1980-an, Purwanto mulai memelihara lebah madu sebagai penghasilan tambahan bagi keluarganya.
Di tahun 1983, Purwanto melihat lebah mengelilingi pohon akasia jenis mangium dan eukaliptus.
Ia pun penasaran melihat banyaknya lebah yang berada di sekitar pohon setinggi 10-15 meter itu.
Beberapa waktu kemudian, dirinya melihat daun akasia yang masih basah terkena embun, dan menjilatnya, ternyata di sana muncul rasa manis.
"Lain hari mengecek."
"Sebenarnya makan apa tho lebah ini," kata Purwanto dilansir dari Kompas.com, Senin (2/12/2019).
Setelah dipelajari, ternyata lebah mengambil sari makanan dari nektar atau cairan manis yang muncul dari bunga atau daun.
"Saya lalu mengecek, keluarnya nektar ini dari mana. Daun muda diambil dari ujung daun dan kelopaknya," ujarnya.
Rasa penasaran inilah yang membuat ia lantas menanyakan ke pengelola hutan Wanagama.
Wanagama merupakan hutan penelitian milik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Hal itu mudah karena dirinya juga diangkat sebagai karyawan bagian pengukur tanaman hutan Wanagama.
Selain itu, warga di sekitar bisa memanfaatkan lahan di sekitar hutan untuk berkebun.
Ia meminta izin untuk memelihara lebah di sekitar hutan.
Sebab, tumbuhan akasia waktu itu belum diketahui menjadi makanan lebah.
Setelah mendapatkan izin, dirinya pun mulai membuat sangkar lebah madu di sekitar hutan yang dekat dengan sumber makanan.
Lama-kelamaan penanaman pohon akasia mangium dan eukaliptus diperbanyak.
Dua jenis pohon itu sudah ada di hampir seluruh kawasan hutan Wanagama, yakni petak 19, 18, 17, 16, dan 5.
Purwanto memiliki 300 kotak rumah lebah di kawasan hutan Wanagama.
Warga Desa Banaran juga ikut memelihara lebah.
Ia memperkirakan lebih dari 3.000 kotak rumah lebah yang dipelihara di hutan Wanagama.
Ia menceritakan, temuan pohon akasia jenis mangium dan eukalipsus, sumber makanan lebah kemudian direspons serius oleh UGM, dan ketika itu menyebarkan informasi ke berbagai negara di Asia hingga Eropa.
Bahkan, negara China waktu itu menganggap madu yang dihasilkan dari hutan Wanagama merupakan yang terbaik di Asia.
Atas kegigihan itu, dirinya dijuluki "profesor" meski hanya lulusan SD.
Seiring perkembangan madu, dirinya pun keluar dari pengurusan hutan Wanagama, tetapi tetap diminta membantu pengelola hutan Wanagama setiap saat ada yang ingin belajar pengelolaan lebah.
Saat ini perkembangan madu sudah menunjukkan tren positif.
Saat panen pada bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober, ia dan warga tak perlu takut menjual karena pembeli dari berbagai kota sudah siap menampung.
Saat panen, setiap kotak bisa menghasilkan 3-5 kilogram madu dalam sebulan.
Per kilogramnya dijual seharga Rp 600.000. " Madu di hutan Wanagama tak perlu ditawar.
Dari orang mana-mana itu yang beli.
Mereka sudah tahu kualitas, rasa, dan keasliannya," ucapnya.
Penghasilan yang menggiurkan ini bisa meningkatkan perekonomian warga dan mengurangi potensi keinginan warga menebang pohon di hutan.
"Istilahnya untuk menanggulangi kerusakan hutan juga," ucapnya. (Markus Yuwono)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Purwanto "Profesor Lebah" dari Yogyakarta, Temukan Madu Terbaik di Asia