Hal ini pun diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133 ayat 1, 2, dan 3.
"Di dalam pasal itu disebutkan untuk kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang meminta keterangan ahli,” jelas Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto kepada kompas.com pada tahun 2012 silam.
Ada pasal lainnya yang mengatur perihal otopsi yakni Pasal 134 ayat 1,2,3 KUHAP.
Di sana, disebutkan bila untuk pembuktian, bedah mayat tidak mungkin dihindari, maka penyidik wajib informasikan kepada keluarga dan wajib menerangkan sejelas-jelasnya maksud dan tujuan otopsi.
Bila 2 x 24 jam tidak ada tanggapan dari keluarga, maka penyidik segera laksanakan otopsi.
Tapi untuk pasal ini, biasanya digunakan untuk kasus penemuan mayat yang diketahui identitasnya dan keluarganya dan ada keragu-raguan di dalamnya apakah dia tewas karena sakit atau tindak pidana.
Tapi tetap saja, polisi akan menunggu persetujuan keluarga.
Umumnya polisi membutuhkan hasil otopsi berdasarkan cara kematian. Kematian dibagi menjadi dua, yakni kematian wajar dan tidak wajar.
Kematian wajar adalah kematian yang disebabkan oleh penyakit. Sedangkan kematian tidak wajar biasanya karena bunuh diri, pembunuhan dan kecelakaan.
Kematian wajar paling banyak terjadi karena penyakit kardiovaskular (lebih dari 70 persen).
Sedangkan kematian tidak wajar paling banyak karena kekerasan benda tumpul, tajam dan senjata api.
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Anggapan Keliru Tentang Otopsi di Masyarakat")
Baca Juga: Lolos Seleksi CPNS 2019 Lalu Mundur? Awas, Anda Bisa Kena Denda Rp25 Juta hingga Rp100 Juta!
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR