Dari pekerjaannya, ia mengumpulkan sen demi sen untuk membeli beras dan sembako.
Setelah lulus Algemeen Metddelbare School (AMS-setingkat SMA) sekitar tahun 1942, Landoeng muda berkeliling Kota Bandung dengan sepeda kumbangnya.
Ia akan bertanya kepada tukang panggul atau petani yang ditemuinya, apakah mereka bisa membaca.
Jika belum, Landoeng akan berhenti dan mengajar mereka membaca dengan papan tulis kecil dan kapur yang ia letakkan di sepeda kumbangnya.
Landoeng juga mengajari para saudagar kaya di Pasar Baru yang juga buta huruf.
Dari para saudagar kaya ini lah, Landoeng biasanya mendapatkan makanan dan minuman.
“Abah tidak dibayar. Abah jadi sukarelawan saja. Terus seperti itu hingga zaman kemerdekaan. Karena sampai tahun 1950-1960an, Indonesia masih berperang melawan buta huruf. Hati abah tergerak,” tuturnya dilansir dari pemberitaan Kompas.com, Selasa (14/8/2019).
Ia juga mengajar anak-anak pemimpin pasukan Siliwangi Jenderal Ibrahim Adjie dan Gubernur Mohamad Sanusi Harjadinata yang dititipkan padanya.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR