Advertorial

Kisah Mata Hari, Wanita Keturunan Jawa yang Jadi Mata-mata Dua Negara

Mentari DP

Editor

Mata Hari adalah seorang penari eksotis yang dihukum tembak mati di Prancis atas tuduhan menjadi mata-mata saat Perang Dunia I.
Mata Hari adalah seorang penari eksotis yang dihukum tembak mati di Prancis atas tuduhan menjadi mata-mata saat Perang Dunia I.

Intisari-Online.com – Anda tahu siapa itu Mata Hari?

Mata Hari adalah nama panggung dari Margaretha Geertruida "Grietje" Zelle.

Ia adalah seorang penari eksotis dan pelacur yang dihukum tembak mati di Prancis atas tuduhan menjadi mata-mata saat Perang Dunia I.

Mata Hari lahir di Leeuwarden, Belanda pada 7 Agustus 1876 dan meninggal di Vincennes, Perancis pada 15 Oktober 1917, 102 tahun yang lalu.

Baca Juga: Letusan Awan Panas Gunung Merapi: Meski Merapi Meletus, Penjaga Gunung Tak Boleh Melarikan Diri

Keturunan Belanda-Jawa

Ia lahir dari pasangan pembuat topi asal Belanda, Adam Zelle dan istri seorang keturunan Belanda-Jawa, Antje van der Meulen pada 1876.

Sayang pada awal kisah romansanya, ia bertemu dengan Rudolf MacLeod—Kapten di Hindia Belanda (Indonesia) yang kerap berselingkuh dan menyiksanya.

Dari MacLeod, ia memiliki dua anak, satu lelaki dan satu perempuan.

Si sulung lelaki, yang lahir dengan kekurangan fisik, tidak berumur panjang.

Sementara si bungsu dititipkan pada pihak keluarga pascaperceraian kedua orangtuanya.

Margaretha kemudian menuju Paris, mengubah nama menjadi "Mata Hari".

Bahasa yang tentu asing bagi warga setempat, namun menambah kesan misterius dari tari panggungnya.

Baca Juga: Sulli, Mantan Anggota f(x) Meninggal Dunia: Penting untuk Diingat, Ini Tanda-tanda Orang yang Ingin Bunuh Diri

Menjadi mata-mata dua negara

Selama beberapa tahun, Mata Hari menjadi selebriti di kota tersebut sebagai penari eksotis. Hingga jatuhlah Perang Dunia I pada 1914.

Pecahnya PD I disambut warga Eropa dengan bergembira, bukannya takut.

Sikap ini muncul karena didorong sikap nasionalistik, mereka mengira perang akan berlangsung singkat dan mengalami kejayaan.

DalamTrue Spy Storieskarangan Paul Dowswell dan Fergus Fleming, Mata Hari dikatakan bosan dengan kondisi perang.

Sebabnya, selama dua tahun, ia tidak bisa bebas melakukan apa-apa. Hanya diam di rumahnya di Belanda sebagai tempat netral.

Hingga akhirnya munculah Karl Kramer, atase pers Konsulat Jerman di Belanda.

Kramer meminta Mata Hari kembali ke Paris, Prancis, negara yang tidak lain adalah musuh Jerman.

Mata Hari diminta menggunakan semua daya pikatnya untuk berbaur kembali dengan para orang berpengaruh di sana.

Dengan imbalan cukup, Mata Hari menyetujuinya.

Baca Juga: Jonghyun SHINee, Sulli, dan Orang Lain yang Kehilangan Harapan Buktikan Bahwa Penyakit Mental Tak Boleh Disepelekan

Namun, Dowswell dan Fleming berkeyakinan bahwa hal ini disetujui oleh Mata Hari hanya karena penasaran menjadi mata-mata.

Beberapa bulan kemudian, secara tidak sengaja ia bertemu Kapten Georges Ladoux, Kepala Dinas Counterintelligence Prancis—badan yang dibentuk untuk menginvestigasi mata-mata asing.

Sama seperti pihak Jerman, Ladoux meminta kerja sama dari Mata Hari.

Mata Hari, perempuan yang menyingkap tabir misteri negeri Timur pada masyarakat Paris, akhirnya melangkah di dua sisi: Jerman dan Prancis.

Hingga pada waktunya aksi ini terungkap. Pada 24 Juli 1917, ia berdiri di hadapan pengadilan tertutup militer.

Hanya dalam tempo dua hari, perempuan cerdas dengan pesona luar biasa ini dinyatakan bersalah melakukan kegiatan mata-mata terhadap Prancis dan dijatuhi hukuman mati.

Ia dieksekusi pada 15 Oktober 1917 di hadapan regu tembak, tewas dalam usia 41 tahun.

Meski demikian, kasusnya tidak redup. Banyak kontroversi yang menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah.

Lain dari itu, namanya diasosiasikan dengan eksotisme yang bertahan hingga masa sekarang.

Baca Juga: Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santosa, Jenderal yang Jujur dan Berani Hingga Akhir Hayatnya

Artikel Terkait