Advertorial

Dengan Rutin dan Disiplin, Hensis Membuktikan: Tubuh Ibarat Mesin

Agus Surono
,
T. Tjahjo Widyasmoro

Tim Redaksi

Apakah hanya orang-orang dengan genetik khusus yang memiliki daya tahan luar biasa, untuk berlari ratusan kilometer misalnya. Bisa jadi memang ada unsur itu. Namun, pendekatan yang dilakukan Hendra Siswanto ini membawa sebuah narasi baru bahwa tubuh bisa ditingkatkan performanya.
Apakah hanya orang-orang dengan genetik khusus yang memiliki daya tahan luar biasa, untuk berlari ratusan kilometer misalnya. Bisa jadi memang ada unsur itu. Namun, pendekatan yang dilakukan Hendra Siswanto ini membawa sebuah narasi baru bahwa tubuh bisa ditingkatkan performanya.

Intisari-Online.com - Lintas Sumbawa 320K merupakan lomba ultramarathon yang diakui paling ganas di Indonesia. Suhu ekstrem yang bisa mencapai 40 derajat di siang hari menjadi tantangan yang harus dijinakkan peserta. Terlebih jarak sejauh itu hanya diberi tenggat 68 jam. Selain panas, jalurnya pun naik turun meski di pinggir pantai dengan pemandangan yang aduhai.

Lomba ini mengambil tempat di Pulau Sumbawa (NTB) dengan melewati tiga kabupaten, yaitu Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Dompu. Start dari Lapangan Pototano (0 m) dan finish di Doro Ncanga (47 m) kaki Gn.Tambora, pelari akan dimanjakan dengan pemandangan padang savana berisi kerbau dan kuda.

Tahun 2019 merupakan kali keempat Lintas Sumbawa 320K. Berawal dari 2015 bertepatan dengan peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora yang mengubah peradaban dunia, lomba ini telah menelurkan jawara-jawara pelari ultra.

Saat awal dilombakan, Alan Maulana meraih podium pertama dengan catatan 62 jam, 28 menit. Tahun berikutnya Matheos Berhitu dengan catatan waktunya 71 jam, 17 menit. Waktu ini diperpendek oleh Matheos pada 2017 dengan 70 jam, 18 menit. Pada 2018 William Binjai memangkas catatan waktu Alan menjadi 62 jam, 26 menit.

Baca Juga: Ini Tips untuk Para Pemula agar Tidak Kapok Olahraga Lari, Sangat Mudah Dilakukan!

Nah, Lintas Sumbawa 320K 2019 mencatatkan hal fenomenal dalam kategori individual putra. Catatan waktu podium satu sampai tiga sudah tembus di bawah 60 jam. Dari sini sudah terlihat bahwa tubuh bisa diolah agar kinerjanya meningkat. Alan yang kembali turun, memperbaiki rekor pribadinya menjadi 58 jam, 19 menit. Namun selisih waktu 4 jam lebih itu hanya menempatkan Alan di posisi kedua kategori individu Lintas Sumbawa 320K 2019. Ia terpaut dua jam lebih di belakng podium satu yang direbut Hendra Siswanto (39) dengan 55 jam, 56 menit.

Bagaimana bisa Hendra Siswanto yang dikenal sebagai Hensis ini bisa begitu kencang mengingat pada tahun sebelumnya ia hampir gagal finish dengan catatan waktunya 69 jam 30 menit? ”Tahun lalu (2018), saya menantang diri bisa finis di bawah 60 jam. Namun malah hancur berantakan. Saya tidak bisa lari pas panas. Butuh 3 jam untuk jarak 10 km. Itu sama saja tidak lari,”katanya.

Namun, kegagalan tahun lalu itu memicu semangatnya untuk menuntaskan target finis di bawah 60 jam. Dengan persiapan dan perhitungan matang ia berani memprediksi akan finish 55 jam, 55 menit!

Bagaimana persiapan dan perhitungan yang dilakukannya? Sport science menjawabnya!

Gegara kolesterol tinggi

Hensis mengawali persiapan untuk ikut kembali ke Lintas Sumbawa 320K dengan premis bahwa tubuh ibarat mesin. Nah, dengan dasar pemikiran itu berarti tubuh bisa ditingkatkan kemampuannya – utamanya organ jantung - atau dimodifikasi melalui serangkaian latihan dan konsumsi nutrisi.

Untuk menuju ke arah itu diperlukan data. Salah satu yang penting adalah data soal denyut jantung kita ketika berlari. Dari denyut jantung ini Hendra Siswanto bisa mengolah tubuhnya layaknya mesin. Ditingkatkan secara berkala, meski untuk itu membutuhkan waktu yang lama.

“Saya percaya kata-kata, ‘kita bisa karena terbiasa’,” kata Hendra Siswanto yang di kalangan pelari dikenal dengan panggilan Hensis ini.

Pengalaman Hensis membuktikan ujaran kolot itu. Ia memulai lari pada 2013. Gara-garanya kadar kolesterolnya tinggi. Pada pemeriksaan tahun-tahun sebelumnya, ia abaikan angka itu karena belum melewati ambang batas.

Akan tetapi, “Kali ini aku seperti tersambar petir di siang bolong. Ada dua pilihan yang harus aku ambil jika ingin tetap sehat dan berumur panjang supaya bisa melihat anak-anakku tumbuh menjadi dewasa nanti. Minum obat setiap hari atau berolahraga rutin.”

Baca Juga: Pelari Marathon Meninggal Saat Lomba, Ini 4 Hal yang Perlu Dipahami Agar Terhindar dari Serangan Jantung

Sejak itulah, tepatnya Agustus 2013, Hensis mulai rajin lari pagi. Setiap dua hari, menggunakan sepatu lari usang berbantalan keras dan memakai pakaian tidur, ia berlari di pagi hari sekitar 30 menit. Rumahnya yang tak jauh dari Monas membuat salah satu ikon Jakarta itu sebagai tempat berlarinya.

Bermula dari tantangan pribadi yang sangat sederhana itu, lari pagi sekitar 30 menit setiap dua hari itu, Hensis bisa konsisten berlari selama sebulan. Ia memantau larinya dengan pencatat jarak. Perlahan-lahan jarak larinya mulai jauh. Mulai dari 4 km, 5 km, sampai akhirnya 6 km. “Pikiranku menjadi terbuka, jikalau tubuh ini diolah perlahan-lahan namun konsisten, seterusnya akan menjadi lebih baik,” katanya.

Pada 2013 itu Hensis hanya memakai pedometer pengukur jarak. Hasilnya dicatat secar manual menggunakan perangkat lunak Excel di komputer. Dari situ terlihat, dari Agustus sampai Desember 2013 ia berlari kurang lebih 25 km/minggu dengan lari terjauh hanya 10 km saja.

Harus progresif

Awal 2014 Hensis mendaftar lomba maraton di Jakarta Marathon yang diselenggarakan pada bulan Oktober. Ia pun kemudian membikin program. Target sebulan harus mencapai jarak lari total 100 km. Jika dipecah per minggu menjadi 25 km/minggu dan sehari sekitar 5 km. Ada satu hari untuk istirahat. (Tiap bulan target itu dinaikkan 20 persen, sampai akhirnya bulan Desember menjadi 450 km.)

”Setelah mulai berlari, kolesterol baiknya naik. Kolesterolnya tidak bisa turun seluruhnya karena sudah genetik. Akan tetapi, karena ada dampak baiknya, ya, sudah saya lanjutkan.”

Dia juga begitu menikmati beberapa kemajuan lainnya. Pada 2014, detak jantungnya masih 180 kali per menit. Setahun kemudian, detak jantungnya menurun menjadi 160 kali per menit. ”Progres itu membuat saya berpikir tubuh ini seperti mesin yang bisa di-upgrade,” tuturnya.

Dalam meng-upgrade kemampuan tubuhnya itu, Hensis melakukan pendekatan melalui sport science. Latar belakangnya di bidang teknik tak membuatnya kesulitan untuk mengolah data, menganalisisnya, kemudian membuat kesimpulan.

Baca Juga: Salut, Ibu Ini Pecahkan Rekor Dunia Setelah Selesaikan Lari Marathon Sambil Mendorong Stroller Berisi 3 Anaknya

“Modalnya sih hanya spreadsheet,” katanya sambil menunjukkan beberapa grafik-grafik di iPadnya. Dari situ Hensis bisa tahu progres peningkatan performa tubuhnya. Detak jantung yang menurun, padahal kecepatan larinya tetap, hanyalah salah satu hasil dari progres yang progresif tadi.

Sekali lagi Hensis menekankan bahwa memberi beban ke tubuh harus secara progresif. Jadi tubuh terbiasa. Bukan terbebani. Makanya, melihat latihan-latihan yang dilakukan Hensis semuanya terukur. Tentu juga tercatat rapi.

Ketika akhirnya “jatuh cinta” pada lari ultra (jarak di atas marathon 42,195 km), ia pun mulai banyak belajar soal ketahanan tubuh, fokus, serta metabolisme. Sekali lagi tubuhnya menjadi laboratorium hidup. Monas menjadi salah satu tempat ujicoba itu.

Selain membentuk tubuhnya beradaptasi, berlari mengelilingi kawasan Monas sejauh sekitar 3 km berkali-kali (bayangkan untuk persiapan Tambora Challenge 320 K pada 2019 ia sehari berlari 60 km) juga membuatnya tahan bosan dan tetap fokus.

Cukup separo

Dari Tambora Challenge yang diikuti Hensis, ia jadi tahu faktor apa saja yang membuat orang bisa berlari ratusan kilometer. Salah satunya metabolisme tubuh. Dibandingkan dua faktor lain, fisik dan mental, faktor ini masih sering diabaikan orang. Padahal, semakin panjang jarak lari, faktor metabolisme ini sangat berperan dalam dunia endurance.

Metabolisme ini berkaitan dengan nutrisi dan istirahat. Ini harus dilatih secara terus-menerus. Jika bisa mengetahui kapasitas tubuh, maka kita bisa membuat tubuh bekerja nyaman untuk menyuplai energi yang diperlukan. Tidak ngoyo yang justru malah membuat tubuh akan defisit energi.

Penjelasan secara medis adalah ketika kita berlari, pasokan darah dialihkan ke hampir semua otot-otot kita yang bekerja. Termasuk ke bagian perut, terutama usus. Oleh sebab itu, ketika berlari ultra dengan relatif memaksakan diri, makanan akan tercerna lebih lambat. Ini yang akan menyebabkan gangguan pada perut, termasuk kram, mual, lemas, dan hilangnya selera makan karena perut pada dasarnya masih penuh.

Untuk menghindari “rasa penuh” di perut, Hensis menyarankan untuk melihat data kalori yang dihabiskan saat kita lari. Dari situ bisa diambil rata-rata berapa kalori terbakar setiap jamnya manakala kita sedang lari. Nah, penuhi saja separo dari kalori yang terbakar itu. Ada banyak sumber kalori yang bisa segera diolah dan digunakan tubuh. Kurma, pisang, atau yang lebih praktis gel.

Baca Juga: Ini 5 Manfaat Pisang, dari Sehatkan Jantung Hingga Jaga Suasana Hati

Jangan lupa soal hidrasi. Soalnya, ketika hidrasi kurang, maka metabolisme juga akan menurun. Untuk mengimbangi latihan-latihan yang keras, asuplah makanan kaya protein ataupun suplemen protein. Ini juga bisa meningkatkan metabolisme kita.

“Sebagai penikmat kopi pahit, saya juga meyakini kafein tanpa gula ini bisa meningkatkan metabolisme meskipun hanya dalam waktu yang relatif singkat,” imbuh Hensis.

Yang terakhir adalah istirahat yang cukup. Ini termasuk seberapa cepat tubuh kita untuk pulih dari latihan-latihan yang panjang. “Seberapa banyak latihan lari, saya selalu menyisakan minimal satu hari ‘off’ dalam seminggu untuk istirahat ditunjang dengan jam tidur yang cukup, minimal tujuh jam sehari.

Semakin tinggi volume latihan kita, akan semakin tinggi pula metabolisme tubuh kita, yang menjadikan tubuh kita makin cepat pulih dan kita sebenarnya hanya membutuhkan waktu istirahat yang lebih singkat daripada orang lain,” simpul Hensis.

Menggunakan tubuhnya sebagai ruang laboratorium dan data-data yang ada, Hensis membuktikan semua itu di Lintas Sumbawa 320 Km. melalui data-data yang diolahnya dia memperkirakan bisa finish 55 jam 55 menit untuk jarak 320 km itu. Dalam kenyataannya, catatan waktunya hanya meleset satu menit dari perkiraannya.

Masih tidak percaya tubuh bisa di-upgrade layaknya mesin?

Tongkat Pemandu di Malam Hari

Pada 2018 Hensis hampir gagal menyelesaikan Lintas Sumbawa 320 Km ketika panas mendera di paro kedua etape. Ditambah dengan jalurnya yang banyak tanjakan, lengkap sudah “penderitaan” yang dialami Hensis. Nah, agar bisa melewati paro kedua rute, mau tak mau harus di malam hari. Berarti harus mempercepat di paro pertama.

Hensis pun ngebut di 160 km pertama. Namun ia diragukan bisa menjaga kebugaran di 160 km kedua meski ia akan melewatinya di malam hari. Jika di siang hari melawan terik, maka di malam hari melawan kantuk. Itu yang dialami Hensis. Bahkan ia sempat keluar dari jalan aspal dan hampir menabrak pohon karena kesadarannya terenggut kantuk. Ia pun memakai tongkat untuk membantunya terjaga. Jika masih mendengar ketukan, berarti ia masih menapak di aspal.

Untuk ngebut di awal dan menjaga kebugaran di akhir, Hensis melakukan serangkaian latihan untuk membuat fisiknya kuat, mental tangguh, dan metabolisme lancar. Untuk melatih fokus dan mengatasi rasa bosan, Hensis berlari mengitari track sepanjang 400 m di Ragunan selama 24 jam. Untuk menempa fisik, ia latihan berlari jarak jauh berturut-turut. Mulai dari dua hari maraton sampai lima hari berturut-turut menempuh 60 km.

Dari semua latihan itu Hensis menganalisis data yang diperolehnya. Sebagian latihan itu ada yang sekaligus menjadi ajang pembuktian di lomba. Dengan begitu, target 55 jam 55 menit pun bukan asal memungut angka.

Artikel Terkait