Advertorial
Intisari-online.com - Foto itu menggambarkan seorang ayah yang sedang dipotret oleh fotografer Alice Seeley Harris.
Nama pria itu adalah Nsala.
Ini adalah foto dari bagian akhir dari buku "Don't Call Me Lady: Perjalanan Lady Alice Seeley Harris".
Baca Juga: Ini 8 Cara Bentuk Otot Perut Agar Six Pack, Salah Satunya Minum Air Banyak
Dalam keterangannya tertulis, "Dia tidak mampu membuat kuota karet untuk hari itu.
Sebagai gantinya, tangan dan kaki putranya bernama Boali dipotong sebelum dibunuh.
Putrnya masihberusia 5 tahun, kemudian mereka juga membunuh istrinya.
Itu sangat keji. Mereka juga memutilasi tubuh istri dan Boali, kemudian mengembalikannya pada Nsala.
Ini adalah fakta menyedihkan, mereka harus melayani orang tak dikenal dari antah berantah dengan merampas tanahnya demi memuaskan kerakusannya."
Itu adalah catatan singkat yang ditulis Alice Seeley Harris, ketika dia berada di Kongo, sebuah negara korporat Afrika tengah yang dimiliki secara pribadi oleh Raja Leopold II dari Belgia.
Leopold II memerintah Kongo dan membantai 10 juta orang Afrika, dia juga memotong tangan dan alat kelamin mereka, mencambuknya sampai mati dan membuatnya kelaparan.
Leopold melakukan kekejaman ini bahkan dengan tidak menginjakkan kakinya di Kongo.
Kisah kekejian ini dimulai pada abad ke-20.
The Abir Kongo Perusahaan yang didirikan sebagai Anglo-Belgia India Rubber Company, dikenal sebagi Compagnie de Congo Belge.
Adalah perusahaan yang ditunjuk mengeksploitasi karet alam di Kongo Free State.
Abir menikmatikejayaan hingga akhir 1890-an dengan menjual satu kilogram karet di Eropa dengan harga mahal.
Namun itu juga harus dibayar mahal dengan tindakan 'merampas' hak asasi manusia.
Orang-orang yang tak sanggup memenuhi kuota pengumpulan karet akan dihukum penjara, cambuk, dan hukuman fisik yang menyebabkan cacat.
Jika gagal memenuhi kuota mereka juga tak segan menghukumnya mati.
Pasukan militer diharuskan memotong tangan korban sebagai bukti bahwa mereka telah menembak atau membunuh seseorang.
Akibat situasi ini, tak jarang penduduk desa di Kongo saat itu berperang dengan desa lain demi memenuhi kuota karet.
Namun, terkadang para pasukan tidak jadi membunuhnya, namun hanya memotong tangannya dan membiarkan mereka hidup menderita.
Lebih dari beberapa orang yang selamat kemudian mengatakan bahwa mereka telah hidup melalui pembantaian dengan pura-pura mati.
Mereka tidak bergerak bahkan ketika tangan mereka terputus, dan menunggu sampai tentara pergi sebelum mencari bantuan.
Dalam beberapa kasus, seorang prajurit dapat mempersingkat masa tugasnya dengan membawa lebih banyak tangan daripada prajurit lainnya, yang menyebabkan mutilasi dan pemotongan yang meluas.
Insiden ini tercatat sebagai pembantaian yang menyebabkan penurunan populasi manusia di Kongo, Negara Bebas Kongo juga menjadi salah satu skandal internasional terbesar saat itu.
Baca Juga: Kasus Remaja Tewas Karena Sering Main Game PUBG: Ini Bahaya Game PUBG Untuk Otak Kita