Advertorial
Intisari-Online.com -Demonstrasi mahasiswa yang digelar sejak Senin (23/9/2019) masih terus berlanjut di beberapa kota di Indonesia.
Jakarta, Jogja, Bandung, Purwokerto, dan beberapa kota lainnya kini tengah dibanjiri oleh berbagai jaket almamater dari berbagai kampus.
Di jagat Twitter, tagar #SaatnyaPeoplePower, #GejayanMemanggil dan #MosiTidakPercaya turut mengiringi aksi para mahasiswa di lapangan.
Ada dua hal utama yang menjadi pemicu aksi demonstrasi para mahasiswa, yaitu menolak RUU KUHP dan Revisi UU KPK.
Baca Juga: 'Yang Beli Polisi-polisi yang Jaga,' Rezeki Pedagang Asongan di Balik Riuh Demonstran di Gedung KPK
Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta, Gregorius Anco kepada Kompas.com menyatakan bahwa kedua undang-undang tersebut dianggap tak sesuai dengan amanat reformasi.
"Tuntutan kami jelas, RUU KPK dan RKUHP dibatalkan, karena RUU itu bermasalah dan tidak sesuai dengan reformasi. Kan enggak ada tuntutan turunkan Jokowi," ujar Anco kepada Kompas.com, Senin (23/9/2019).
Khusus, mengenai revisi UU KPK, sampai saat ini masih banyak yang bingung dengan pasal-pasal yang ditolak.
Anda termasuk yang bingung? Jika, ya, Anda wajib menyimak ulasan ini.
Ada lima poin utama dari RUU KPK yang dianggap bermasalah oleh banyak pihak, termasuk oleh para mahasiswa.
Apa saja itu? Mari kita bandingkan kondis sebelum dan sesudah revisi UU KPK seperti dilansir INTISARI dari Instagram @klinikhukum berikut ini.
1. Penerbitan SP3 dalam Pasal 40 UU KPK
Dulu: Dalam perkara tindak pidana korupsi, KPK tidak memiliki wewenang untuk mnerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan atau yang lebih dikenal sebagai SP3.
Sekarang: KPK diberi wewenang untuk menerbitkan SP3 terhadap perkarap tindak pidana korupsi jika dalam jangka waktu dua tahun penyidikan dan penuntutannya tak kunjung selesai.
2. Penyadapan Independen dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK
Dulu: Dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidika, dan penuntutan, KPK diberi wewenang untuk melakukan penyadapan sekaligus merekam pembicaraan.
Sekarang: Penyadapan masih bisa dilakukan namun harus melalui izin tertulis yang akan diberikan oleh Dewan Pengawas yang harus diberikan dalam waktu maksimal 1x24 jam.
Setelah izin tertulis didapat, KPK hanya memiliki waktu selama 6 jam untuk melakukan penyadapan. Jika perlu waktu lebih lama, maka KPK perlu kembali mengajukan izin.
3. Penuntutan Independe dalam Pasal 3 jo. Pasal 6 huruf c UU KPK
Dulu: KPK dapt melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Sekarang: KPK kini harus selalu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung jika akan melakukan suatu tuntutan.
4. Pengangkatan Penyelidik dan Penyidik Independen dalam Pasal 39 ayat (3), Pasal 43 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 51 ayat (1) UU KPK
Dulu: KPK memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan penyelidik, penyidik, dan penuntut secara independen.
Jika ada ada penyelidik dan penyidik yang berasal dari instansi kepolisian dan kejaksaan, maka akan diberhentikan sementara dari lembaga sebelumnya selama menjadi pegawai KPK.
Sekarang: Pegawai KPK merupakan anggotan Korps Profesi Pegawai ASN. Penyidik harus berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan PPNS.
Baca Juga: Tak Berkutik, Satu Keluarga Dijebloskan ke Penjara, Sejarah Baru Bagi KPK
Sementara penyidik hanya diperbolehkan berasal dari kepolisian.
5. Kriteria Perkara yang Mendapat Perhatian Publik dalam Pasal 11 huruf b UU KPK
Dulu: Jika ada tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat, maka KPK memiliki wewenang untuk menyelidiki, menyidik dan menuntutnya.
Sekarang: Kriteria "perhatian publik" telah dihapuskan.