Advertorial
Intisari-Online.com - Sabetan golok dalam genggaman tangan kiri perempuan paruh baya itu, bergerak cepat menebas daun nipah muda agar terpisah dari pelepahnya.
Jari-jari tangan kanannya bergerak mengarahkan sasaran hujam golok agar tepat memenggal ujung bagian bawah daun nipah.
Jarak antara jari tangan kanan dengan kilatan sabetan mata golok hanya seper sekian centi saja.
Namun tak ada rasa was-was, Nia terus bekerja sambil sesakali melayani ajakan senda gurau dari teman-temannya.
Dalam hitungan menit daun nipah muda tertumpuk di samping.
Lalu diikat untuk digabungan dengan tumpukan lainnya sampai datang pembeli.
Nia nama perempuan asal Desa Suka Makmur, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil, tersebut.
Sehari-hari bekerja sebagai tukang cincang pucuk nipah yang diambil kaum lelaki dari Singkil Lama, tempat buaya bersarang.
Sore itu, Selasa (3/9/2019) Nia masih menyincang daun nipah.
Sementara kaum ibu rumah tangga lain yang berusia lebih muda sesama penyincang pucuk nipah sudah bersolek menyambut suami pulang kerja.
Keringat memenuhi wajahnya. Tapi ia masih terus mengejar target mendapatkan seikat lagi cincangan nipah.
Selesai itu barulah bernafas lega. “Ini cuman pekerjaan kami,” ujarnya.
Cincang merupakan istilah untuk pekerjaan memotong daun nipah agar terpisah dengan pelepahnya.
Umumnya pekerjaan itu dilakukan ibu rumah tangga demi membantu suami menutupi kebutuhan keluarga.
Setiap satu kilogram daun nipah muda yang dicincang Nia dan kawan-kawannya diupahi Rp 150.
Setelah bekerja sepanjang hari kaum perempuan itu membawa pulang uang sekitar Rp 75 ribu.
“Kadang dapat empat puluh (Rp 40 ribu) sehari, gitu lah kadang-kadang,” ujarnya.
Menyincang daun nipah muda dilakukan di pinggir sungai yang memisahkan penduduk Suka Makmur dengan Siti Ambia.
Sebagai pelindung terik matahari dan basah hujan spanduk bekas menjadi atap darurat.
Pucuk nipah yang telah dicincang diikat lalu dijual kepada pengepul selanjunya dikirim ke Sumatera Utara.
Per kilo pucuk daun nipah muda dihargai Rp 650.
Setelah dipotong ongkos cincang Rp 150 per kilo, sisanya Rp 500 merupakan hak pencari nipah.
Ada dua jenis pucuk nipah yang jual hanya dicincang saja.
Satu lagi terlebih dahulu dikupas. Puncuk nipah sejauh ini digunakan sebagai bukus tembakau. Dengan istilah rokok pucuk.
Pencari pucuk nipah yang dicincang Nia dan teman-temanya, adalah Suwardi.
Menjelang petang laki-laki berbadan tegap itu baru pulang mengambil daun nipah muda dari dekat muara sungai Singkil Lama.
Singkil Lama dikenal sebagai sarang buaya.
“Kalau buaya cuman terlihat saat melintas di sungai saja. Kalau ketemu langsung saat mengambil nipah mudah-mudahan jangan,” ujar Suwardi.
Bukan hanya berotot kuat, mencari nipah di hutan rawa butuh nyali.
Di lokasi kerap bertemu ular, tawon serta binatang berbahaya lainnya.
Belum lagi bagian dari nipah ada yang tajam seperti silet. Kalau tidak hati-hati bisa melukai tangan.
Nipah diangkut menggunakan perahu. Suwardi bekerja berdua bersama tetangganya.
Seharian Suwardi dan temannya bisa mengumpulkan hasil cincangan daun nipah muda sekitar 500 kilogram.
Setelah dipotong ongkos cincang maka mengantongi kira-kira Rp 250 ribu.
Penghasilan itu dibagi dua setelah dipotong biaya bahan bakar perahu. “Berat, tapi tidak ada kerjaan lain,” kata Suwardi.
Hari sudah beranjak malam, Suwardi masih harus memindahkan tumpukan pelepah nipah muda dari perahu ke daratan.
Agar esok kaum perempuan bisa bekerja menyincangnya.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Begini Kisah Pencari Pucuk Nipah di Sarang Buaya