Advertorial
Intisari-online.com - Kematian mungkin adalah misteri ilahi yang masih tidak bisa terpecahkan meski beragam penelitian dilakukan.
Bahkan, bagi beberapa agama, menyebut kematian adalah rahasia tuhan yang tidak ada sartupun orang yang mengetahui.
Namun, baru-baru ini misteri mengenai kematian rupanya mencoba untuk dipecahkan oleh para ilmuwan, kono mereka bisa memprediksinya melalui tes darah.
Mengutip Ladbible pada Rabu (21/8/2019), ilmuwan spesialis asal Jerman, menemukan selusin bioarker dalam darah yang diyakini memengaruhi risiko kematian.
Terobosan ini dilakukan setelah menguji 44.000 orang, dan menganalisis 14 faktor seperti, kekebalan dan kontrol glukosa.
Dengan menggunakan metode ini, informasi yang dikumpulkan selama penelitian, sanggup memprediksi kematian dengan akurasi 83 persen.
Konon, apakah seseorang akan meninggal dalam 2 hingga 16 tahun ke depan.
Menurut studi yang dipublikasikan, dalam jurnal Nature Communications, selama penelitian, para peneliti dari Institut Max Plack untuk Biologi Aging menganalisis darah ribuah orang dewasa.
Berkisar antara usia 18 hingga 109 tahun, semua orang tersebut adalah keturunan Eropa dari 12 penelitian lain.
Mereka pertama diuji pada faktor kematian konvensional, seperti BMI, tekanan darah, merokok, dll.
Kemudian, akademisi menggunakan biomarker dari tes darah baru.
Peserta lalu diberi skor, mulai minus 2 sampai 3, semakin tinggi angkanya maka semakin besar kemungkinan seseorang akan cepat mati.
Tes lanjutan selama 2 hingga 16 tahun berikutnya, menemukan bahwa lebih dari 5.000 peserta telah meninggal, tes terbaru ini telah memprediksi risiko kematian mereka dengan akurasi 83 persen.
Tetapi, memperkirakan risiko kematian selama 10 tahun ke depan jauh lebih sulit diharapkan, meski serangkaian hasil positif ini membantu spesialis meningkatkan cara orang dirawat.
Namun, mereka yang berada di lapangan, telah memperingatkan orang-orang dalam kondisi tertentu bahwa masih banyak yang harus dilakukan sebelum menggunakan pengobatan.
Dr Amanda Heslegrave, peneliti dari UK Dementia Research Institute di University College London, memuji penelitian tersebut namun masih banyak hal yang perlu ditempuh.
Dia mengatakan, "Biomarker memberi kita wawasan penting bahwa mereka memiliki jumlah besar untuk hasil, dalam hal ini kematian, membuat data semakin banyak."
"Namun mereka dibatasi oleh fakta bahwa hanya data Eropa yang mungkin berlaku untuk kelompok etnis lain tanpa studi lebih lanjut," katanya.