Advertorial
Intisari-Online.com - Wisata alam Belitung memang potensial, tetapi tak kalah eksotis adalah budaya yang otentik. Pulau kecil di sebelah timur Sumatera ini memang kaya akan budaya. Kuliner menjadi salah satu yang menarik.
Namanya Bedulang. Tradisi makan ini memiliki nilai kebersamaan dan saling menghormati. Empat orang akan duduk melingkar mengitari nampan yang dilapisi serbet bertudung.
Di dalamnya ada enam menu yang terdiri atas ayam ketumbar, sambal sereh, oseng kacang panjang, sate ikan, lalapan, dan menu gangan darat.
Orang paling muda akan melayani semua rekan dalam kelompok itu yakni memberikan piring yang sudah dibersihkan kepada masing-masing orang.
Selanjutnya, orang paling tua akan mengambil menu dari masing-masing piring diikuti orang yang lebih muda sampai yang paling muda.
Baca Juga: Belitung Tak Hanya Laskar Pelangi
Sebagai catatan, menu yang belum disentuh orang paling tua tidak boleh diambil mereka yang lebih muda.
Demikian juga dengan minumnya, teh tawar hangat, dan buah pisang. Tradisi makan ini mengajarkan kesabaran dan saling menghormati.
Setelah acara makan selesai, yang termuda akan membereskan peralatan makan dan mencucinya. Tradisi makan Bedulang ini biasanya dilakukan saat orang Belitung punya hajat pernikahan.
“Bedulang adalah ciri khas orang pesisir,” kata Ary Prihardhyanto Keim, Staf Khusus Sesmenko Maritim.
Menurut analisisnya, menu dalam bedulang bisa jadi akulturasi dari berbagai budaya yang bertandang dan singgah di Belitung.
Baca Juga: Gangan Kepala Ikan, Makanan Wajib Saat Di Belitung
Tradisi khas ini dikenalkan dalam Festival Titik Temu Belitung yang digelar pada 30 Juni 2019 di pinggir Pantai Ujung Seberang, Gusong Bugis, Belitung.
Kemajemukan Belitung tertuang dalam festival ini. Pulau ini memang kental dengan pluralisme. Berbagai etnis dan agama hidup harmonis berdampingan yang sudah terjadi sejak dulu.
Hal ini juga yang menjadi inspirasi terselenggaranya festival Titik Temu bahwa Belitung menjadi tempat berkolaborasinya berbagai elemen kehidupan.
Selain itu juga sebagai wujud mempertemukan kehidupan di laut dan darat yang sudah dijalani masyarakat Belitung sejak masa lalu.
“Titik Temu Belitung menjadi pertemuan kehidupan di laut dan darat. Gambarannya bisa dilihat dari beragam seni dan budaya yang ditampilkan, hal ini menjadi cermin harmonisasi seluruh aspek yang ada di Belitung,” kata Bupati Belitung, Sahani Saleh.
Festival ini juga dimeriahkan usaha kreatif anak-anak Belitung seperti olahan lada dalam berbagai produk semisal sabun sampai kain, juga aksesoris dari bahan keramik.
Ada pula Batik Sepiak yang khas corak Belitung yakni daun Simpor.
Lisa (24), merasa senang dengan kehadiran festival semacam ini.
Selain menjadi hiburan dan tempat keramaian, mereka juga penasaran dengan Festival Titik Temu ini.
“Enggak tahu juga acara apa, dapat infonya dari Facebook,” akunya saat ditemui di kawasan festival.
Yang jelas, Festival Titik Temu Belitung menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar.
Tandanya adalah keragaman suku dan budaya yang mampu berkolaborasi dan berdampingan dengan harmonis. (Nat)
Baca Juga: Sejarah Peci: Bukan Simbol Agama, Justru Lambang Nasionalisme