Bahkan untuk berjualan keliling, Sarni mengaku harus menginap dari kampung ke kampung.
"Dulu keliling pakai sepeda ontel dari kampung ke kampung ke Pasar Magetan ke Pasar Plaosan.
Kalau jualan bisa empat hari sampai susunan gerabah di sepeda habis. Disusun tinggi itu gerabah di belakang sepeda,” ucapnya.
Meski telah menikah memiliki delapan anak, Sarni tetap setia menekuni pembuatan gerabah bahkan hingga semua anaknya menikah.
Baca Juga: Jika Perang Meletus, Ini Empat Senjata Israel yang Harus Diwaspadai Iran
Saat ini, Sarni dibantu anak bungsunya Karniem (65) masih tetap setia mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) untuk membuat cobek.
“Biasanya jika bikin gerabah dari kecil, tidak bisa bertani. Kalau masak ya nempur (beli beras),” terangnya.
Sementara itu, Karniem, anak kandung Mbah Sarni yang juga membuat gerabah bercerita jika saat ini tidak ada yang anak muda minat untuk bekerja membuat gerabah.
Hal tersebut berbeda saat masa ibu dan neneknya. Di desanya, pembuat gerabah hanyalah perempuan yang berusia tua.
Baca Juga: Sering Begadang dan Baru Tidur di Atas Jam 12, Pria Ini Alami Sakit Parah, Bahkan Sampai Koma
Bahkan dari delapan bersaudara, hanya dia yang mengikuti jejak ibunya membuat gerabah.
“Saudara yang lain berpencar mengikuti suami mereka. Kalau warga sini kebanyakan memilih mencari kerja di luar negeri karena duitnya banyak. Yang masih kerja kaya gini ya tinggal perempuan tua,” ujarnya.
Cobek Dihargai Rp 1.000 Per Buah
Saat ini penghasilan membuat gerabah tidak banyak, karena masyarakat banyak yang beralih menggunakan peralatan alumunium dan listrik.
Baca Juga: Pelihara Singa di Rumah, Biaya untuk Beri Makan Selama 1 Bulan Saja Besarnya 15 Kali UMR Jakarta
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR