Advertorial
Intisari-Online.com - "Tak ada kota di dunia yang perekonomiannya maju tanpa menerapkan konsep kota sehat,” kata Nirwono Joga, peneliti Pusat Studi Perkotaan.
Ibarat pepatah yang dipopulerkan John Hulley asal Inggris sebagai semboyan untuk Klub Atletik Liverpool pada 1861, “Men sana in corpore sano”, bisa jadi begitu juga dengan kota sebagai sosok yang hidup. Dalam kota yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Konsep “kota sehat” muncul pada pertengahan 1980-an, yang diartikulasikan sebagai kota yang terus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosial serta memperluas sumber daya masyarakat yang memungkinkan orang untuk saling mendukung satu sama lain dalam melakukan semua fungsi kehidupan dan dalam mengembangkan potensi maksimal mereka.
Diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia sebagai proyek skala kecil di Eropa, gagasan kota sehat bertujuan untuk menempatkan kesehatan dalam agenda pengambil keputusan di kota-kota Eropa. Proyek ini secara eksplisit menyatakan bahwa kota yang sehat ditentukan oleh suatu proses dan bukan hasil.
Disadari pula bahwa sejak awal, keberhasilan memerlukan eksperimen, pembelajaran, adaptasi, dan perubahan. Jadi, visi kota sehat terbentuk dari gabungan kepemimpinan politik, visibilitas untuk kesehatan, perubahan kelembagaan, dan tindakan inovatif untuk kesehatan. Juga dukungan dari kerja kemitraan, jaringan, evaluasi, dan diseminasi.
Sebagai tempat proyek awal, tak berlebihan jika dari 10 daftar kota sehat versi Spotahome yang dirilis di IFL Science, urutan atas didominasi kota-kota di Eropa. Amsterdam, Belanda, menduduki peringkat pertama. Disusul Oslo, Norwegia, lalu Rotterdam, Belanda di posisi tiga. Dari 10 kota itu hanya dua kota di luar Eropa, yakni Adelaide, Australia (posisi 7) dan Perth, Australia (9).
Baca Juga: Dari Museum Prostitusi di Amsterdam Kita Tahu Salah Satu Profesi Tertua di Belanda
Eropasentris
Fotografer Intisari, Rahmad Azhar Hutomo, yang belum lama menyambangi Amsterdam, Belanda, selama dua minggu merasakan kenyamanan kota sepeda itu. Jalur sepeda yang ada di kota ini dimanfaatkan betul oleh warganya.
Tidak seperti di Jakarta yang jalur sepeda malah “dimangsa” oleh kendaraan roda empat sebagai tempat parkirnya. Kemudian jalan-jalan utama di Amsterdam bagian tengahnya diperuntukkan bagi trem dan bus. Justru jalan mobil hanya selebar satu mobil saja.
Penggunaan sepeda dinilai Azhar sebagai salah satu faktor yang mengurangi kemacetan di Amsterdam. Hal yang masih menjadi pekerjaan rumah pemimpin kota Jakarta akhir-akhir ini. Padahal, kemacetan tak hanya memboroskan waktu, namun juga mengancam kesehatan jiwa dan fisik penghuninya.
Kemacetan pula yang membuat kualitas udara menjadi kurang baik. Padahal kualitas udara ini menjadi salah satu dari 10 indikator kota sehat versi Spotahome, sebuah platform persewaan rumah jangka menengah hingga jangka panjang.
Sembilan indikator lain adalah rerata peringkat pusat kebugaran, jumlah hari sinar matahari tahunan, harapan hidup saat kelahiran, lapak makanan cepat saji, obesitas pada orang dewasa, jumlah hari libur tahunan, keseimbangan kerja-waktu luang, ruang hijau, dan titik pengisian daya mobil listrik.
Jika lebih dari satu indikator tak terpenuhi, sebuah kota dicoret dari daftar. Walhasil, hanya ada 89 daftar kota yang masuk dalam 10 indikator tadi.
Baca Juga: Lewat Cara Ini, Kita Bisa Kurangi Dampak Polusi Udara saat Terjebak Kemacetan Lalu Lintas
Menurut tim Spotahome, lebih mudah untuk tetap sehat di kota dengan kebiasaan sosial yang sehat – dengan udara bersih, makanan segar, dan fasilitas olahraga berkualitas tinggi. Sebaliknya, jauh lebih sulit terpenuhi di kota-kota dengan tingkat polusi yang tinggi, terlalu banyak restoran cepat saji, dan tidak cukup ruang hijau.
Setiap kota diberi peringkat berdasarkan seberapa baik kinerjanya pada 10 indikator tadi. Setiap indikator mengacu ke data terbaru dari sumber yang kredibel, seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), CIA World Factbook, dan situs wisata terbesar di dunia TripAdvisor.
Setiap indikator dinilai dengan skala 0 dan 10. Kemudian diambil rata-ratanya. Indeks dibuat menggunakan data tingkat kota dan negara. Dalam contoh data tingkat negara, skor negara diterapkan untuk setiap kota di dalamnya. Misalnya, jika Prancis memiliki skor 8,42 untuk “harapan hidup saat kelahiran”, maka Paris, Lyon, dan Marseille semuanya menerima 8,42.
Daftar itu memang sepertinya Eropasentris. Kota tersehat di AS adalah San Francisco, yang merupakan satu-satunya kota dengan taman yang mudah diakses – hanya dalam jarak 10 menit berjalan kaki. Nyatanya kota ini ada di peringkat 34. Sementara di Inggris, kota tersehatnya adalah Lomdon yang berada di peringkat 40. Kota ini memperoleh nilai sempurna untuk stasiun pengisian daya mobil listrik namun jeblok pusat kebugaran dan kualitas udara.
Seperti organisme hidup
Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Menurut Nirwono, derajat kesehatan di kota-kota di Indonesia sangat beragam dan kompleks. Persoalannya adalah karena masih menanggung beban persoalan kesehatan konvensional, seperti gizi buruk, tuberkulosis, diare, dan demam berdarah dengue (DBD).
Kementerian Kesehatan (2011) mengidentifikasi dampak perubahan iklim di perkotaan seperti cuaca ekstrem, temperatur memanas, peningkatan dan ketidakaturan curah hujan, dan kenaikan muka air laut, telah mengubah pola mikroba (alur kontaminasi, transmisi dinamik), agroekosistem, hidrologi, sosioekonomi, dan demografi.
Dampaknya bagi kesehatan adalah penyebaran penyakit melalui air dan makanan, gangguan mental, gizi, dan penyakit infeksi lainnya, serta merebaknya penyakit lingkungan (diare, DBD, infeksi saluran pernapasan atas), dan kematian.
Baca Juga: Terbukti, Nyamuk Demam Berdarah Memang Suka Gigit Anak di Hari Senin!
Nirwono mengutip data dari 1998 – 2006, penderita DBD di Indonesia menunjukkan tren peningkatan seiring curah hujan yang tinggi. Puncak penderita DBD tercatat terjadi pada tahun 1998 dan 2004. Kantong-kantong kawasan kumuh perkotaan merupakan daerah yang paling rentan terhadap penyebaran penyakit lingkungan.
Dari peta sebaran diare (2008) diketahui tingkat kejadian diare (> 1.200 penderita) paling banyak terjadi di daerah Maluku Utara dan Papua. Peta Prediksi Risiko Dampak Perubahan Iklim pada ISPA Balita (2008) memperlihatkan wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta berisiko tertinggi; wilayah Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Barat berisiko sedang. Sisa wilayah lainnya berisiko rendah.
Pemanasan global telah membawa perubahan iklim ekstrem yang memengaruhi kehidupan dan kesehatan kota dan kita, terutama kelompok anak-anak dan lanjut usia (lansia). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2012) menyebutkan lima besar penyakit penyebab kematian untuk wilayah perkotaan disebabkan oleh penyakit degeneratif, terutama yang banyak menyerang lansia, yaitu stroke (19,4%), diabetes mellitus (9,7%), hipertensi (7,5%), tuberculosis (7,3%) dan penyakit jantung.
Baca Juga: Satu Telur Tiap Hari Menjauhkan Anda dari Penyakit Jantung, Ini 5 Manfaat Telur Lainnya!
Pemerintah harus melakukan berbagai strategi mitigasi, adaptasi, dan antisipasi terhadap perubahan iklim, seperti sosialisasi dan advokasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan yang melibatkan lintas sektor terkait, organisasi massa dan swasta.
Pemerintah harus melakukan pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim di wilayahnya, membentuk sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan, menyiapkan peraturan perundangan berbasis pemberdayaan masyarakat, meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan, melaksanakan pelatihan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta mengembangkan teknologi tepat guna sesuai dengan keadaan khusus setempat.
Berbekal rencana strategis Kementerian Kesehatan dan peta jalan sektor kesehatan, pemerintah dapat mengembangkan Kota Sehat. Warga didorong untuk lebih banyak beraktivitas di taman, berolahraga, relaksasi dan refleksi, serta berinteraksi antartetangga. Warga menjadi lebih produktif dalam bekerja dan berkarya.
“Kota sehat laksana organisme hidup yang kompleks, bernapas, bertumbuh, dan terus-menerus berubah, mengembangkan sumberdaya (alam, manusia), sehingga warganya saling mendukung dalam memaksimalkan potensi kota. Kota menjadi ajang industri kreatif, penuh inspirasi dan inovasi,” kata Nirwono.
Sehat kotanya, maju ekonominya!